oleh Enang Cuhendi
“Jangan sekali-kali
meninggalkan sejarah”
-Bung Karno-
Senin,
23 Desember 2019 cuaca Kota Yogja tidak terlalu terik bahkan terkesan akan
turun hujan. Tepat pukul 13.30 kami sampai di depan bangunan besar bercat putih
yang oleh masyarakat disebut Gedung Agung atau nama resminya Istana
Kepresidenan Yogjakarta. Di balik gerbang utama terlihat arca Dwarapala
menyambut gagah dengan gada di tangannya. Dengan sedikit berjalan cepat dan
meninggalkan rombongan saya pun bergegas menuju ke pos jaga di gerbang samping
kiri istana untuk melapor tentang kedatangan kami. Saya temui petugas piket dan
menyampaikan maksud kedatangan kami yang memang sebelumnya sudah ada janji.
Petugas menerima kami dengan hangat dan mempersilakan semua anggota rombongan
kami dari kampus Universitas Persatuan Islam (UNIPI) untuk masuk dan melakukan pemeriksaan
melalui pintu detektor
.
Durasi
kunjungan sebenarnya tidaklah terlalu lama. Semua berjalan hanya sekira 60
menit. Walau begitu bagi saya pribadi kunjungan ini memiliki kesan yang
mendalam, karena ini adalah kali kedua setelah tahun 1992 yang lampau. Ketika
itu saya masih mahasiswa Pendidikan Sejarah IKIP Bandung (UPI) semester 4.
Kesan
yang mendalam ini menggelitik saya untuk sedikit membuat catatan tentang gedung
ini. Tentunya bukan masalah kunjungannya, tetapi mencoba menuliskan arti
penting Istana Kepresidenan Yogjakarta beserta jejak-jejak sejarah yang pernah
tertinggal di dalamnya. Dengan harapan sekedar untuk melawan lupa melalui jejak
tulisan.
Istana
Kepresidenan Yogjakarta atau oleh masayarakat sekitar disebut Gedung Agung.
Konon sebutan ini muncul karena sejak dulu banyak tamu agung atau para
pembesar yang keluar masuk gedung ini. Gedung agung berada di kawasan yang
sangat strategis tepat di jantung ibu kota Daerah Istimewa Yogjakarta (DIY).
Lokasinya terletak di Jalan Margo Mulyo (Jalan Ahmad Yani), Kelurahan Ngupasan,
Kecamatan Gondomanan Kota Yogjakarta, tepat di sudut titik nol kilo meter
Yogjakarta. Masyarakat awam atau turis sebenarnya sangat familiar dengan gedung
ini karena terletak di kawasan ramai Malioboro. Walau begitu dari 1000
pengunjung belum tentu 10 orang yang pernah masuk ke sini. Padahal tidak ada
tiket masuk yang harus dibayar pengunjung alias gratis. Orang umumnya hanya
berkumpul dan berseliweran di depan istana sambil menikmati kehidupan
Malioboro.
Bangunan kompleks Gedung Agung memiliki luas
43.585 meter persegi berada di atas ketinggian 120 mdpl. Bangunan ini menghadap
ke Timur tepat berhadapan dengan Benteng Vredenburg, sebuah benteng peninggalan
Belanda. Di depan gerbang utama sebagaimana
disebutkan di awal terdapat Arca Dwarapala berukuran raksasa dan di belakangnya,
tepat di depan Gedung Utama terdapat Dagoba setinggi 3,5 meter. Selain gedung utama
atau gedung induk sebagai pusat utama kegiatan kenegaraan, di kompleks ini
terdapat beberapa bangunan penting, seperti: wisma-wisma untuk akomodasi tamu-tamu
kenegaraan dan gedung eks-Senisono (Gedung Societet de vereniging Yogjakarta)
yang di dalamnya terdapat auditorium, museum serta perpustakaan. Adapun wisma
yang ada meliputi: Wisma Negara, Wisma Indraprasta, Wisma Sawojajar, Wisma
Bumiretawu, Wisma Saptapratala dan Wisma Jodipati.
Titik
awal sejarah Gedung Agung berawal pasca Perjanjian Giyanti pada 1755. Pada 7
0ktober 1756 saat Sri Sultan Hamengku Buwono I pindah dari Istana Pesanggrahan
Ambarketawang ke Keraton Yogjakarta, secara bersamaan VOC juga mulai membangun
Benteng Fort Vredenburg yang tidak terlalu jauh dari keraton dengan tujuan
untuk mengawasi gerakan Sultan kalau-kalau bersikap mbalelo dari VOC. Kalau itu terjadi dengan jarak yang hanya dengan
satu tembakan meriam keraton akan mudah ditaklukkan.
Atas
inisiatif Residen Cornelis Donkel, residen Yogjakarta yang memerintah
1755-1761, maka dibangun pula Gedung Keresidenan Yogjakarta yang letaknya
berseberangan dengan Fort Vredenburg.
Lokasinya sangat strategis karena berada dalam pengamanan militer di
Fort Vredenburg, bahkan menurut informasi yang penulis terima antara gedung
keresidenan dengan benteng ada jalan penghubung bawah tanah untuk antisipasi
seandainya ada serangan ke gedung residen.
Selanjutnya
pada Mei 1824 atas inisiatif Residen Anthoine Hendrik Semisaert dilakukan
pembangunan Fondasi baru Gedung Kepresidenan Yogjakarta menggantikan gedung
lama. Arsitek pembangunan dipercayakan kepada A. Payen. Terjadinya Perang Jawa
atau Perang Diponegoro (1825-1830) memaksa penghentian sementara pembangunan
gedung. Setelah perang selesai pembangunan dilanjutklan kembali dan pada 22 Des
1832 Residen Yogjakarta ke-24 mengirim surat kepada Gubernur Jenderal van Bosch
melaporkan selesainya proses pembangunan.
Setelah
sekira 30 tahun berdiri dan dipergunakan sebagai Kantor Residen Yogjakarta,
Gedung Agung terpaksa dipugar. Ini
sebagai upaya renovasi menyusul terjadinya gempa yang melanda Yogjakarta pada 10
Juni 1867. Pemugaran menghabiskan biaya f.125.000,00 dan berakhir pada 1869.
Hasil dari renovasi arsitekturnya sebagaimana kita bisa lihat sekarang.
Berdasarkan
staatblad nomor 561 tertanggal 19
Desember 1927, tingkat keresidenan di Indonesia berubah menjadi gubernuran. Dengan
demikian Kantor Keresidenan Yogjakarta pun berubah fungsi menjadi Kantor
Gubernur Yogjakarta. Setidaknya ada empat gubernur yang pernah tinggal di
Gedung Agung, setelah J.E Jasper (1926-1927) yang merupakan residen terakhir
dan gubernur pertama. Mereka adalah: PRW. van Gesseler Verschuup (1929-1932),
HH. De Cock (1932-1935), J. Bijleveld (1935-1940), dan Dr. L. Adam (1940-1942).
Seiring
dengan masuknya Jepang ke Indonesia, tepatnya pada 5 Maret 1942, Gedung Agung
digunakan sebagai Tyookan Kantai atau
rumah kediaman pemimpin Jepang di Yogjakarta yang disebut Koochi Zimmukyoku Tyookan. Pendudukan Jepang atas Gedung Agung
terbilang singkat, hanya sekira tiga tahun.
Saat
proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan, secara de facto Jepang masih
berada di Indonesia, termasuk di Yogjakarta. Mereka masih menempati Gedung
Agung sebagai Tyookan Kantai. Melihat
situasi ini pada 21 September 1945 para pemuda pelajar yang tergabung dalam Gassema
dan masyarakat Yogjakarta menyerbu
Gedung Agung atau Tyookan Kantai dan berhasil menurunkan bendera Hinomaru Jepang
serta menggantinya dengan Merah Putih. Pada saat bersamaan para pejuang juga
melakukan perebutan senjata di markas Kido Putai (Kota Baru). Dalam peristiwa 21
September 1945 tersebut 21 pemuda Indonesia gugur dan 32 orang luka-luka.
Pejuang yang gugur disemayamkan di Balai Mataram atau Gedung Senisono yang bersebelahan
dengan Gedung Agung dan selanjutnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki Yogjakarta.
Sementara yang terluka dibawa ke RS Panti Rapih.
Setelah
berada di tangan kekuasaan para pejuang, Gedung Agung beralih fungsi menjadi
Kantor Komite Nasional (KNI) Provinsi Yogjakarta. KNI adalah komite yang
bertugas untuk: 1) Memiliterisasi BKR (Badan Keamanan Rakyat) menjadi TKR (Tentara
Keamanan Rakyat); 2) Badan penyalur kehendak rakyat; dan 3) pembuat
Undang-undang bagi DIY.
Menghadapi
situasi Jakarta yang semakin gawat akibat konflik pemerintah RI dengan Sekutu
(Belanda) presiden dan para pejabat RI kemudian pindah ke Yogjakarta pada 4 Januari
1946. Dua hari kemudian mereka menempati Gedung Agung sebagai kantor pusat pemerintahan.
Adanya perpindahan ini sekaligus menandai bertambahnya peran Yogjakarta, tidak
hanya sebagai Daerah Khusus, tetapi juga ibukota negara dan Gedung Adung
menjadi istana kepresidenan.
Saat
berkantor di Gedung Agung ini aneka peristiwa dalam sejarah Indonesia terjadi.
Mulai dari datangnya Komandan Divisi Mayor Jenderal Soedarsono yang memaksa
Bung Karno untuk menanda tangani susunan kabinet yang sudah disusunnya pada 3
Juli 1946 yang berkembang menjadi sebuah kudeta yang gagal. Kemudian terbentuk
dan bersidangnya kabinet-kabinet yang dipimpin oleh: Perdana Menteri Sutan
Syahrir II (14 Agustus 1946), Amir Sjarifudin (3 Juli 1947), Muhammad Hatta (29
Januari 1948) dan Muhammad Hatta II (4 Agustus 1949). Dalam hal semua ini
Gedung Agung berperan sebagai tempat pelantikan dan sidang tiap kabinet
tersebut.
Hal
yang paling fenomenal tentunya di Gedung Agung inilah Jenderal Soedirman
dilantik menjadi Panglima Besar dan pucuk pimpinan tertinggi TNI pada 3 Juni
1947. Setelah terjadi Agresi Militer II Panglima Soedirman memilih berjuang
secara gerilya dan menjauh dari kekuatan politik istana. Ia lebih memilih untuk
bergabung di medan tempur keluar masuk hutan untuk memimpin Perang Gerilya
secara total terhadap Belanda demi menunjukkan eksistensi TNI masih ada kepada
dunia. Jenderal Soedirman baru kembali menginjakan kaki di Gedung Agung setelah
proses politik penyerahan kedaulatan selesai. Di ruangan sayap kanan Gedung
Utama dari Gedung Agung yang kemudian diberinama Ruang Soedirman inilah
Jenderal Soedirman melapor ketika akan berangkat perang gerilya dan
sekembalinya dari perang gerilya kepada Presiden Soekarno.
Kemudian
di sini pun tercatat Presiden Soekarno, Wakil Presiden Muhammad Hatta dan para
menteri ditangkap pasukan Belanda dalam Agresi Militer II di bawah pimpinan
Jenderal SH. Spoor pada 19 Desember 1948. Mereka dibuang ke Brastagi dan Bangka.
Sebelum ditangkap, dari Gedung Agung ini Presiden Soekarno memerintahkan kepada
Menteri Kemakmuran, Mr. Syafrudin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah
Darurat RI di Bukit Tinggi, dan juga perintah
yang sama kapada Mr. AA Maramis dan Dr. Soedarsono, seandainya Mr. Syafrudin
gagal. Presiden Soekarno dan para pejabat pemerintahan baru kembali ke Istana
Kepresidenan Yogyakarta atau Gedung Agung pada 6 Juli 1949.
Pada
masa terbentuknya Republik Indonesia serikat (RIS), Gedung Agung menjadi tempat
pelantikan Ir. Soekarno sebagai Presiden RIS pada 19 Desember 1949. Kemudian
juga pelantikan Mr. Assaat sebagai acting
Presiden RI pada 27 Desember 1949. Sehari setelah pelantikan Mr. Assaat sebagai
acting Presiden RI, Presiden Soekarno
meninggalkan Istana Kepresidenan Yogjakarta menuju Istana Negara di Jakarta
sebagai Presiden RIS. adapun Mr. Assaat tetap tinggal di Gedung Agung selama
beberapa waktu. Baru setelah RIS dinyatakan bubar pada 17 Agustus 1950, hari
itu juga Mr. Assaat meninggalkan Gedung Agung dan menyerahkannya kepada Kepala
Daerah Istimewa Yogjakarta.
Setelah
ditinggalkan Presiden RI sejak 17 Agustus 1950 pengelolaan Gedung Agung diserahkan kepada
Tamjiz hingga 1954. Setelah 1954 pemeliharaan gedung dikelola oleh Staf Redjo
Utomo dan pengawasannya diserahkan kepada Kepatihan Danurejan. Sejak keluarnya
Ketetapan Mensesneg RI nomor KEP.046/M.SESNEG/8/1973 tentang Pengaturan Istana
Negara sebagai Rumah Tangga Kepresidenan tertanggal 8 Agustus 1973, Gedung Agung
resmi menjadi kantor dan kediaman resmi Presiden dan Wakil Presiden RI. Selain
itu, juga sebagai tempat menerima tamu-tamu negara sekaligus akomodasinya. Pengelolaan
sepenuhnya berada di bawah Kementrian Sekretariat Negara RI.
Sampai
saat ini tercatat sudah lebih dari 65 kepala negara, kepala pemerintahan dan
tamu-tamu negara telah mengunjungi atau menginap di Gedung Agung. Mereka
diterima secara resmi sebagai tamu negara di Ruang Garuda yang berada di Gedung
Utama. Untuk pertemuan dan pembicaraan resmi dengan Kepala Negara atau Kepala
Pemerintahan biasanya digunakan Ruang Sudirman yang ada sayap kanan Gedung
Utama. Sedangkan untuk akomodasi rombongan tamu yang berkunjung dan bermalam di
Gedung Agung disediakan Wima Negara. Gedung dua lantai yang pembangunannya
dimulai pada Oktober 1980 ini menyediakan dua kamar VIP dan 14 kamar standar. Nama-nama besar seperti Ratu Elizabeth II dari
Inggeris (1974), Presiden Francois Mitterand dari Perancis (1986), Sultan
Hasanal Bolkiah dari Brunai Darussalam (1984), Pemimpin Katolik Paus Yohanes
Paulus II (1989), dan kaisar Akihito dari Jepang (1991) adalah beberapa di
antara tamu-tamu agung yang pernah berkunjung dan menginap di Gedung Agung.
Beberapa
event nasional juga pernah dan selalu dilaksanakan di Gedung Agung. Salah satu
yang rutin dilaksanakan sejak 1991 adalah Upacara Peringatan Detik-detik
Proklamasi Kemerdekaan RI.
Kupasan
singkat mengenai jejak-jejak sejarah di Gedung Agung ini sekedar untuk mengingatkan
kita agar tidak melupakan sejarah. Ini sesuai dengan pesan Bung Karno, “Jangan sekali-kali melupakan sejarah”. Kalau
anak bangsa sudah mulai melupakan sejarah bangsanya, maka tinggal tunggu
waktunya kapan ia akan kehilangan rasa bangga akan bangsa dan tanah airnya. (EC-Socius
Media)
Sumber Bacaan
Agus Sulistya, dkk., 2002, Buku Informasi Profil Pelajar Pejuang, Yogjakarta, BPKP Museum
Benteng Yogjakarta.
Istana Kepresidenan RI Yogjakarta, 2019, Istana Kepresidenan Yogjakarta, Yogjakarta, Istana Kepresidenan RI Yogjakarta.
Tim Penyusun, 1981, 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1949 cetakan 5, Jakarta, Tira
Pustaka.