Prof. Dr. H. Hadi Sabari Yunus, M.A; DRS.
Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
ABSTRAK
Makalah ini bertujuan untuk memberikan masukan kepada para
geografiwan, dalam rangka untuk memantapkan pemahamannya mengenai konsep dan
pendekatan Geografi di satu sisi dan di sisi lain mengaitkannya dengan aplikasinya.
Makalah ini dibuat atas dasar permintaan dari Jurusan Geografi, Fakultas Ilmu
Sosial, Universitas Negeri Malang dan masukan dari para alumni bahwa sejauh ini
masih terdapat kegamangan pemahaman dari ilmu Geografi serta aplikasinya untuk
mengupas sesuatu masalah. Apabila hal ini berlangsung terus dikhawatirkan
akan terjadi marginalisasi keilmuan baik dalam pengembangan ilmunya maupun
dalam hal aplikasi untuk kepentingan pembangunan. Kecenderungan terjadinya
marginalisasi Geografiwan telah disinyalir dalam waktu yang lama dan sampai
saat ini hal tersebut masih saja terjadi, karena kurang mantapnya / solidnya
pemahaman konsep dan pendekatan Geografi itu sendiri. Kondisi ini sangat tidak
menguntungkan karena mengakibatkan ”adverse negative impacts” yang tidak
dikehendaki baik bagi perkembangan ilmu Geografi itu sendiri maupun peranan
Geografiwan dalam pembangunan. Untuk maksud mencapai ”reempowerment”,
makalah ini melontarkan ide-ide praktis untuk menuju pemahaman Konsep dan
Pendekatan Utama Geografi yang solid, karena di sinilah letak keunggulan
komparatif dan kompetitif ilmu Geografi dibandingkan dengan ilmu-ilmu yang
lain. Kemantapan partisipasi geografiwan sangat ditentukan oleh
kemantapan pemahaman keilmuannya. Fitrah Geografi dengan Tiga Pendekatan Utama
(spatial, ecological dan regional complex approach) merupakan substansi yang
harus dijiwai oleh setiap geografiwan sehingga ”scientific dignity” ilmu ini
tidak redup tetapi menjadi bercahaya kembali.. Hal ini bukan berarti menutup
diri dari pengembangan ilmu pengetahuan dan keterkaitannya dengan ilmu lain,
namun setiap adopsi pendekatan keilmuan dari ilmu lain harus selalu didasarkan
pada jati diri Geografi itu sendiri sehingga marginalisasi peranan ilmu
Geografi dan para geografiwan dalam pembangunan tidak termarginalisasi.
Berdasarkan permintaan, bagian kedua makalah ini menyoroti secara khusus
mengenai pendekatan keruangan (spatial approach) dan beberapa contoh
terapannya dalam perspektif geografi. Walaupun demikian penyaji menghimbau para
geografiwan juga memperdalam tentang ”ecological approach” dan ”regional
complex approach” agar supaya pemahaman dan penjiwaan kegeografiannya menjadi
solid.
PENDAHULUAN
Makalah ini bertujuan memberikan pengarahan pemahaman ilmu
Geografi agar supaya para geografiwan memahami jati dirinya serta mampu
mengaplikasikan pada semua obyek geosfer. Sesorang geografiwan tidak akan
mampu memantapkan peranannya dalam setiap program pembangunan kalau tidak mampu
mengaplikasikan ilmunya dan hal ini tergantung pada pemahaman terhadap jati
dirinya sebagai geografiwan. Kemampuan apa yang dimilikinya dan tidak
dimiliki oleh ilmuwan lainnya sehingga sumbangan pemikirannya benar-benar
bermanfaat ditinjau dari segi keilmuan. Makalah ini bertujuan untuk memantapkan
dan meluruskan arah perkembangan keilmuan Geografi yang disinyalir melenceng
dari jati dirinya. Geografi merupakan ilmu yang sangat istimewa, karena
sifatnyamulti-variate dimana beberapa bidang kajian
yang berbeda-beda dipelajari dan membentuk satu kesatuan ilmu yang solid.
Sifat inilah yang menguntungkan mereka yang mempelajari Geografi karena bidang kajian ini bersifat poly entry yang menguntungkan bagi mereka yang
mempelajarinya karena memberikan peluang lebih banyak bagi mahasiswa Geografi
untuk memperoleh pekerjaan. Lain halnya dengan ilmu-ilmu lain yang kebanyakan
bersifat mono entry sehingga untuk memasuki bidang
pekerjaan tertentu harus sejalan dan terbatas dengan bidang yang secara khusus
dipelajarinya.
Di samping sifat multi-variate ini
merupakan kekuatan bidang kajian Geografi, namun sifat ini pula yang dapat
menjadi titik kelemahan utama bidang kajian Geografi apabila tidak mengetahui
cara-cara atau kiat-kiat mengatasinya. Pada saat ini tidak banyak
lulusan Geografi yang mempunyai posisi kardinal dalam berbagai program
pembangunan. Penyebab utamanya adalah tidak memahami sepenuhnya kajian
Geografi dengan benar sehingga dalam berbagai kegiatan pembangunan tidak mampu
berbicara atau berbuat banyak karena kurang penguasaan ilmunya.
Sifat multi-variate ini terkadang menjerumuskan
seseorang menjadi merasa menguasai semua, atau merasa tidak menguasai
semua. Kedua macam persepsi ini sama-sama tidak menguntungkan.
Sifat merasa menguasai semua ilmu pengetahuan adalah sangat keliru, karena
tidak ada satu orangpun di dunia yang akan mampu menguasai berbagai ilmu
pengetahuan. Sifat merasa tidak menguasai semua bidang kajian pendukung
dalam Geografi juga tidak benar, karena akan mengakibatkan seseorang merasa
rendah diri dan tidak mampu sehingga tidak banyak yang diperbuat dalam
menyumbangkan ilmunya.
Paper ini bertujuan untuk menyadarkan para Geografiwan
mengenali keunggulan keilmuan dirinya dan membangkitkannya sehingga mampu
berkiprah lebih banyak dan lebih mantap dalam setiap pembangunan berbasis
wilayah di negeri ini dan secara khusus akan menyoroti pendekatan
keruangan.
DARI MARGINAL MENUJU KARDINAL
Berbagai pengalaman menunjukkan bahwa ada kecenderungan
marginalisasi Geografi dalam berbagai bidang, baik bidang pendidikan maupun
pembangunan berbasis wilayah. Dua penyebab marginalisasi dapat
dikemukakan dalam paper ini yaitu penyebab eksternal dan penyebab
internal. Penyebab eksternal terkait dengan
anggapan / pendapat umum (public opinion)
mengenai disiplin ilmu Geografi, sedangkan penyebab internal terkait dengan
penguasaan keilmuannya. Marginalisasi eksternal terkait dengan pendapat umum
yang telah berkembang dalam masyarakat dan hal ini tidak dapat dilepaskan
kaitannya dengan sistem pendidikan. Di bidang pendidikan, ditandai oleh
munculnya pendapat bahwa ilmu Geografi dianggap tidak penting dan kurang
berperanan dalam pembangunan dan hal ini berdampak pada kurikulum pendidikan di
sekolah mulai dari tingkat sekolah dasar, menengah bahkan sampai dengan
perguruan tinggi. Akibat nyata yang ada adalah munculnya pendapat umum mengenai
kurang berperanannya ilmu Geografi di dalam pembangunan dan hal ini terbukti
adanya kenyataan bahwa tidak banyak lembaga pemerintah maupun swasta yang
secara luas mengumumkan kebutuhannya akan tenaga yang berkompeten di bidang
Geografi. Kesalahan sistem pendidikan di tingkat sekolah mulai dari sekolah
dasar sampai menengah yang kurang pas memberikan pengarahan pemahaman arti
disiplin ilmu Geografi mengakibatkan kebanyakan orang tidak memahami secara
benar akan arti Geografi sesungguhnya. Geografi dianggap sebagai ilmu
yang hanya menghafalkan nama-nama secara deskriptif, kualitatif, statis dan
bukan ilmu yang bersifat analitis dinamis. Adalah sangat ironis bahwa
Indonesia yang mempunyai wilayah begitu luas, keragaman wilayah yang begitu
bervariasi, sumber daya alam yang begitu kaya hanya mempunyai sedikit institusi
pendidikan Geografi yang mampu menciptakan ahli-ahli pengembangan
wilayah. Ahli-ahli mana diharapkan mampu berkiprah secara nyata dalam
merumuskan tata ruang dan tata wilayah yang mampu mengantarkan pembangunan
negara ini ke pembangunan regional yang sustainable.
Secara internal,
penyebab marginalisasi dipicu oleh dua penyebab yaitu
yang pertamakarena adanya kecenderungan spesialisasi yang
makin tajam serta yang kedua adanya
adopsi pendekatan dari berbagai bidang kajian lain yang tidak berbasis wilayah
ke dalam ilmu Geografi. Ke duanya mengakibatkan menjauhnya para
geografiwan dari sifat hakiki Geografi sebagai ilmu yang mempunyai ciri khusus.
Akibatnya adalah menjauhnya para ”geografiwan” dari sifat fitrah Geografi dan
memudarnya pemahaman ilmu Geografi secara utuh sebagai suatu entitas
keilmuan. Makalah ini lebih ditekankan pada upaya mengatasi
sebab-sebab internal, karena dapat secara langsung dilaksanakan dan hal ini merupakan
problematik mendesak yang perlu segera mendapat perhatian khusus.
Sementara itu upaya mengatasi penyebab eksternal lebih terkait dengan kebijakan
politik dalam jangka yang lebih panjang dan untuk itu perlu pemikiran yang
matang untuk bertindak dan hal ini akan menjadi bahan diskusi menarik dalam
rangka menyusun strategi kebijakan jangka panjang pada kesempatan lain.
Adopsi
pendekatan keilmuan dari disiplin di luar Geografi:
Adopsi pendekatan ilmu-ilmu sosial lain telah memunculkan
berbagai kajian yang melabelkan dirinya sebagai pendekatan Geografi dan
tidak jarang para geografiwan telah masuk terlalu jauh ke domain bidang kajian
lain, sehingga analisis Geografinya menjadi kabur dan demikian pula analisis
dalam bidang kajian lain juga kabur. Akibat nyata yang timbul adalah
tidak mantapnya seseorang menguasai ilmu Geografi dan apalagi ilmu lain karena
dasar-dasar pengetahuan yang mendasari ilmu lain tersebut tidak pernah
diperoleh dalam studi Geografi. Dari sinilah kemudian muncul marginalisasi
ilmu Geografi itu sendiri, karena scientific dignity Geografi
menjadi kabur dan mereka yang menganut atau terjebak dalam arus keilmuan
ini tidak mampu berperan sentral dalam setiap kegiatan pembangunan maupun
keilmuan. Untuk masuk ke domain ilmu lain jelas kalah oleh bidang kajian
lain itu sendiri, karena ilmu-ilmu dasar pendukungnya tidak dikuasainya dan
apabila masuk kembali ke bidang Geografi telah lupa akan jati dirinya.
Pada pertengahan abad 20 telah terjadi revolusi kuantitatif
yang sangat hebat dan pengaruhnya dalam bidang ilmu pengetahuan sungguh luar
biasa. Dalam bidang Geografi, berbagai teknik analisis kuantitatif telah
mendominasi kajian Geografi, sehingga seolah-olah setiap kajian Geografi yang
tidak menggunakan analisis kuantitatif dianggap tidak ilmiah atau mempunyai
kualifikasi keilmuan yang rendah. Kecenderungan spesialisi sangat marak
terjadi, khususnya analisis keruangan dengan berbagai teknik analisis
kuantitatif yang canggih, walaupun akhirnya disadari bahwa teknik kuantitatif
tersebut ternyata tidak memuaskan dalam menjawab permasalahan Geografi
yang muncul, sehingga teknik analisis kualitatif tetap diperlukan sebagai
bagian yang komplementer dari teknik analisis kuantitatif.
Spesialisasi
yang tidak terarah dan kebablasan:
Boulding (1968)
dalam artikelnya yang berjudul The General System Theory: The
Skeleton of Science telah mengemukakan bahwa spesialisasi yang
berlebihan atau kebablasan akan mengakibatkan sulitnya komunikasi ilmiah antar
sub-disiplin itu sendiri, sehingga akan kehilangan kesatuan makna ilmu yang
utuh. Dalam tulisannya sarjana ini mengungkapkannya dengan sangat tajam
sebagai berikut:
………Specialisation has made communication among disciplines and
among sub-disciplines increasingly difficult, causing isolated sub-cultures
with only tenuous lines of communication between them. In the course of
specialisation, not only the domain of science but the receptors of
information, the scientists, become specialised. The more that science
breaks into sub-groups, and the less the amount of cross-communication that
take place, the more likely that the growth of knowledge is being inhibited.
“Specialised deafness” is the result.
Pada akhir ungkapannya dikemukakan bahwa hasil yang terjadi
adalah specialised deafnessatau ketulian spesialisasi, karena
masing-masing spesialisasi hanya memikirkan bidang kajiannya sendiri-sendiri
dan tidak mau mendengarkan spesialisasi yang lain walaupun berada dalam batang
ilmu yang sama. Hal ini tidak hanya terjadi pada bidang Geografi saja
namun juga mewarnai bidang kajian lain. Selanjutnya, sinyalemen yang
menyangkut kajian Geografi juga telah diungkapkan oleh beberapa sarjana lain
beberapa dekade yang lalu, di antaranya adalah Fisher
(1970) dan Coffey (1981) yang memperkuat sinyalemen yang
dikemukakan oleh Boulding di atas.
Fisher (1970)
mengemukakan kekhawatirannya terhadap kecenderungan spesialisasi yang makin
menjauh dari fitrah Geografi sehingga scientific dignity Geografi
menjadi hilang.
………geography is in serious danger… of over
extending its periphery at the expense of neglecting its base………..
Makin dalamnya spesialisasi dikhawatirkan akan makin
melemahkan hubungan intelektual masing-masing spesialisasi sehingga warna
Geografinya sendiri semakin tidak kentara. Demikian pula Coffey (1981) mengemukakan hal senada:
……..within a fragmented discipline, one lacking a
distinguishable conceptual framework, there may be the danger that individual
sub-fields will become isolated from one another and will maintain little
intellectual intercourse……
Makin mendalamnya spesialisasi akan makin menjauhkan
keterkaitan keilmuan antara satu bidang spesialisasi dengan yang lain,
sehingga scientific dignity Geografi juga akan terlupakan
dan di sinilah awal malapetaka itu yang tidak lain adalah marginalisasi Geografi.
Apabila hal ini tidak segera disadari oleh geografiwan maka lambat laun ilmu
Geografi akan kehilangan jati diri dan orientasi keilmuannya sehingga
marginalisasi Geografi maupun geografiwan dalam pembangunan akan terus
berlanjut. Permasalahan besar yang menjadi tantangan geografiwan
masa kini adalah mengubah kecenderungan yang negatif (marginalisasi Geografi) ini menjadi kecenderungan
positif dalam artian kembali ke jati diri Geografi itu sendiri atau kembali ke
fitrah Geografi, sehingga scientific dignityGeografi
menjadi jelas dan peranan geografiwan maupun ilmu Geografi tidak lagi marginal
namun menjadi sentral dan kardinal. Penulis sangat setuju dengan apa yang
dikemukakan oleh Brian Goodall (1987) yang
mensinyalir bahwa beberapa subdisiplin Geografi banyak mengalami pengaruh
adopsi pendekatan ilmu lain dan spesialisasi internal, sehinggascientific dignitynya menjadi memudar.
Brian Goodall (1987)
mengemukakan bahwa apapun pengayaan keilmuan (scientific enriching)
yang diadopsi dan apapun spesialisasi keilmuan (scientific specialising) yang dilakukan, kajian Geografi harus selalu
mengacu pada tiga tema utama studi Geografi yang dikenal, yaitu (1)
penekanan pada pendekatan keruangan dengan mengangkat ruang sebagai variabel (spatial approach); (2) penekanan pada inter-relasi
antara hubungan manusia dengan lingkungannya (ecological approach)
dan (3) penekanan pada sintesis antara pendekatan spasial dan pendekatan
ekologikal (regional complex approach). Secara spesific
Goodall (1987) mengemukakan contohnya untuk Human Geography sebagai
berikut:
……Like Geography as a whole, human geography covers three related
themes: (1) spatial analysis – the recording and description of human phenomena
around the erath’s surface, with special attention to the significance of
spaceas a variable; (2) the study of the inter-relationships between human
beings and their environment, both natural and socio-economic; (3) a regional
synthesis which combines the first two themes in specified localities.
Ternyata pendapat Goodall (1987) tersebut merupakan
konfirmasi dari apa yang pernah dikemukakan oleh Haggett (1983) mengenai tiga
pendekatan utama Geografi yang disimpulkannya melalui elaborasi panjang dan
mendalam. Baik Geografi Manusia maupun cabang-cabang Geografi yang lain
hendaknya mengacu pada tiga pendekatan ini dalam setiap analisisnya apabila
tidak mau terjebak pada perangkap marginalisasi keilmuannya. Pemantapan jati
diri Geografi hanya dapat dilakukan dengan memantapkan pemahaman ketiga
pendekatan ini. Dari sinilah titik tolak Konsep dan Pendekatan Geografi
dapat dilakukan. Dengan mendasarkan setiap analisis fenomena geosfer pada
pendekatan utama Geografi ini, peranan Geografi dalam setiap program
pembangunan berbasis wilayah (regional based development)
akan berperan sentral dan kardinal karena tidak ada satupun program pembangunan
berbasis wilayah yang tidak berkaitan dengan wilayah, lingkungan, manusia,
sumber daya dan ruang. Pendekatan utama Geografi adalah pendekatan
yang tidak muncul secara instan, namun melalui proses perkembangan paradigma
keilmuan Geografi yang sangat lama sampai saat ini dan hal ini akan dibahas
pada paragraf selanjutnya.
PERKEMBANGAN PARADIGMA KEILMUAN
GEOGRAFI
Paradigma keilmuan Geografi yang ada pada saat ini tidak
muncul secara instan, namun melalui proses yang lama. Dalam sub bab yang
berjudul The Legacy of the Past, Haggett (1983)
mengemukakan 3 fragmen penting yang menandai perkembangan pemikiran
Geografi. Fragmen waktu yang pertama muncul dari penelitian-penelitian
mandiri yang dilakukan oleh individual scholar;
fragmen ke dua muncul dari penelitian-penelitian yang dilaksanakan oleh
kelompok-kelompok ilmuwan dan masyarakat serta fragmen yang ke tiga muncul dari
penelitian-penelitian yang dilaksanakan oleh organisasi kemasyarakatan yang
lebih luas skalanya baik di tingkat nasional maupun internasional.
Fragmen pertama lebih menekankan pada masalah-masalah kebumian praktis
seperti metoda survai permukaan bumi, navigasi, pembuatan peta dan juga
pencetakan atlas. Banyak masalah yang semula masih menjadi teka-teki
manusia dapat dipecahkan dan dijelaskan dari kegiatan penelitian yang dilakukan
oleh para geografiwan pada saat itu. Keterangan yang dapat dikumpulkan
kemudian diplot pada peta yang dihasilkan sehinga informasi kebumian menjadi
semakin terang dan apresiasi tentang eksistensi ilmu kebumian menjadi semakin
baik. Periode in terjadi pada abad 18 sampai permulaan abad 19.
Fragmen waktu kedua terjadi mulai abad 19. Upaya menggabungkan
penelitian-penelitian yang telah dilaksanakan sebelumnya oleh kelompok ilmuwan
dan terlihat ada 4 kelompok ilmuwan yang terlibat. Kelompok pertama muncul di negara-negara
tertentu dan kegiatan eksplorasi yang dilaksanakan telah menambah informasi
yang lebih komprehensif tentang bagian-bagian dunia yang lain. Kelompok kedua adalah kelompok peneliti yang
lebih professional dan anggautanya tidak begitu banyak namun penelitian yang
dihasilkan lebih akurat dan detail. Kelompok ketiga adalah
kelompok peneliti yang berorientasi pada bidang pendidikan semata. Kelompok keempat adalah kelompok
tertentu yang merupakan sub bagian dari kelompok professional yang menekankan
penelitiannya lebih spesifik. Hal ini mulai muncul pada pertengahan abad
20 sejalan dengan munculnya revolusi kuantitatif dan nampaknya sampai saat ini
arah penelitiannya masih terlihat dengan nyata.
Fragmen waktu ketiga diwarnai oleh organisasi-organisasi nasional
maupun internasional yang mencoba mencoba memecahkan permasalahan nasional
maupun global. Sejalan dengan hal ini, dibentuklah organisasi geografiwan
dalam tingkat nasional maupun internasional sebagai wahana dan media para
ilmuwan untuk berkomunikasi. Hal ini terlihat dengan munculnya IGU pada
tahun 1922 dan kemudian mengadakan pertemuan rutin seiap 4 tahun sekali serta
di dalamnya terdapat komisi-komisi yang menangani bidang-bidang kajian
khusus. Sementara itu di masing-masing negara muncul berbagai
organisasi yang mempunyai obyek kajian permukaan bumi.
Perkembangan penelitian yang kemudian memunculkan
pemikiran-pemikiran Geografi tersebut menghasilkan kategorisasi paradigma
Geografi. Secara garis besar dikenal ada 2 paradigma utama, yaitu: paradigma tradisional dan paradigma kontemporer (Herbert
dan Thomas, 1982; Johnston, et al. 2000). Paradigma tradisional
ditengarai oleh 3 macam paradigma, yaitu: (1) exploration paradigm;
(2) environmentalism paradigm dan(3) regionalism paradigm. Sementara itu
paradigma kontemporer diwarnai oleh 2 macam paradigma, yaitu (1) quantitative paradigm dan (2) quantitative and qualitative paradigm. Paradigma-paradigma
tersebut kemudian menelorkan pendekatan utama Geografi yang dikenal saat ini.
Untuk jelasnya lihat tabel berikut.
KETERKAITAN PARADIGMA KEILMUAN GEOGRAFI
DENGAN PENDEKATANNYA
Paradigma
|
Karakteristik
|
Pendekatannya
|
Traditional
Paradigm (1):
Exploration Paradigm
|
Pemetaan
dan penggambaran daerah baru yang memotivasi penelitian dan menghasilkan
tulisan-tulisan sederhana tentang daerah baru berupacognitive descroption semata
|
Belum
mempunyai ciri khusus, karena dianggap belum berupa metoda ilmiah
|
Traditional
Paradigm (2):
Environmentalism Paradigm
|
Analisis
yang lebih sistematik tentang peranan elemen lingkungan terhadap pola
kegiatan manusia. Analisis morfometrik dan kausalitas mendominasi serta
difokuskan hanya pada wilayah tertentu
|
Ecological Approach
|
Traditional
Paradigm (3):
Regionalism Paradigm
|
Analisis
lebih mendalam dan lebih luas dengan membandingkan wilayah satu dengan yang
lain dalam penekanan pada keterkaitan antara elemen lingkungan dengan
kegiatan manusianya
|
Regional Complex Approach
|
Contemporary
Paradigm (1):
Spatial Analysis Paradigm (quantitative analysis)
|
Analisis
pada ruang yang lebih khusus di mana space dianggap sebagai variabel
utama di samping variabel lainnya. Teknik-teknik analisis kuantitatif mendominasi
setiap penelitian
|
Spatial Approach
|
Contemporary
Paradigm (2):
Spatio-temporal Analysis Paradigm (quantitative and qualitative
analyses)
|
Analisis
pada ruang dan wilayah dalam dimensi temporal dengan menekankan pada
pendekatan kualitatif dan kuantitatif, karena pendekatan kuantitatif semata
belum mampu mengungkapkan “the real world
|
Spatial Approach /
Ecological Approach/
Regional Complex Approach
|
Sumber:
Herbert & Thomas, 1982; Johnston, et al., 2000; Yunus, 2005
Perkembangan
Paradigma Tradisional:
Tiga macam paradigma yang muncul pada masa ini mempunyai
sifat yang berbeda-beda dan produknya merupakan pencerminan perkembangan
tuntutan kehidupan serta perkembangan teknologi penelitian serta analisis yang
ada.
Paradigma Eksplorasi (Exploration Paradigm) merupakan perkembangan awal dari ”geographical thought” yang pernah dikenal
arsipnya. Kekhasan paradigma ini terlihat dari upaya-upaya pemetaan,
penggambaran tempat-tempat baru yang belum banyak diketahui dan pengumpulan
fakta-fakta dasar yang berhubungan dengan daerah-daerah yang sebelumnya belum
banyak diketahui. Dari kegiatan inilah kemudian muncul tulisan-tulisan,
gambar-gambar, peta-peta daerah yang baru dan menarik sehingga menumbuhkan
motivasi yang kuat bagi para peneliti untuk lebih menyempurnakan produk yang
sudah dihasilkan sebelumnya baik berupa tulisan-tulisan maupun
peta-petanya. Penemuan-penemuan daerah baru yang sebelumnya belum banyak
dikenal oleh masyarakat luas mulai bermunculan pada saat itu. Sifat dari
produk yang dihasilkan berupa deskripsi dan klasifikasi
wilayah beserta fakta-fakta lapangannya.
Suatu hal yang mencolok adalah sangat terbatasnya latar
belakang teoritis yang mendasari penelitian yang dilaksanakan.
Inilah sebabnya mengapa ada beberapa pihak yang berpendapat bahwa untuk
menganggap perkembangan pemikiran Geografi (geographical thought)
pada masa itu sebagai hal yang kurang pas. Oleh Harvey (1969) hal ini
disebut sebagai cognitive description yang
hanya mengemukakan deskripsi sederhana tentang apa yang diketahui dan
dihasilkan dari pengaturan (ordering) dan
klasifikasi (classification) data yang masih sangat sederhana.
Oleh karena sifatnya yang sangat sederhana, belum dapat diklasifikasikan
sebagai metode ilmiah sehingga pada era ini tidak muncul pendekatan yang khas.
Paradigma kelingkungan (Environmentalism Paradigm) muncul sebagai perkembangan selanjutnya dari metode
sebelumnya. Pentingnya sajian lebih akurat dan detail telah menuntut
peneliti-peneliti untuk melakukan penelitian lebih mendalam mengenai
elemen-elemen lingkungan fisik di mana kehidupan manusia berlangsung.
Paradigma ini terlihat mencuat ke permukaan pada akhir abad 19, di mana
pendapat mengenai peranan yang besar dari lingkungan fisik terhadap pola-pola
kegiatan manusia di permukaan bergaung sangat nyata. Hal inilah yang
kemudian dikenal sebagai pola pikirgeographical
determinism. Bahkan sampai dengan pertengahan abad 20
saja, ide-ide ini masih terasa gemanya. Bentuk-bentuk analisa morfometrik
dan analisa kausalitas mulai banyak dilakukan.
Dalam beberapa hal analisa morfometrik pada taraf awal masih
berakar pada deskripsi kognitif semata namun pengembangan sistem geometris
permukaan bumi, koordinat dan klasifikasi data yang dilaksanakan mulai lebih
lengkap dan akurat sehingga telah membuahkan sistematisasi dan klasifikasi data
yang lebih akurat pula dibandingkan dengan teknik-teknik yang dipakai
sebelumnya. Munculnya analisis jaringan (network
analysis) untuk memeplajari pola-pola dan bentuk-bentuk kota,
misalnya, merupakan salah satu contohnya dan kemudian sampai pada batas-batas
tertentu dapat dimanfaatkan untuk membuat prognostasi dan simulasi.
Sebagai contoh yang menarik adalah apa yang dikemukakan oleh Walter Christaller (1933).
Upaya untuk menjelaskan terkondisinya fenomena tertentu,
khususnya human phenomena oleh
elemen-elemen lingkungan fisik mulai dilaksanakan lebih baik dan lebih
sistematik. Akar dari pada latar belakang analisis hubungan antara
manusia dengan lingkungan alam bermula dari sini. Perkembangannya
kemudian nmpak bahwa analisis hubungan antara manusia dan lingkungan alam telah
memunculkan pandangan baru dalam menempatkan manusia dalam ekosistemnya.
Manusia tidak lagi sepenuhnya didikte atau dikontrol oleh lingkungan alam,
tetapi manusialah yang mempunyai peran lebih besar dalam menentukan
bentuk-bentuk kegiatannya di permukan bumi (geographical possibilism dan probabilism). Dalam era ini memunculkan kekhasan
pendekatan keilmuan dalam Geografi yang kemudian dikenal sebagai pendekatan
ekologis (ecological approach).
Paradigma Kewilayahan (Regionalism Paradigm):
Paradigma ini adalah fase terakhir dari perkembangan
paradigma tradisional. Di sini nampak unsur fact finding tradition of exploration di satu sisi
dan upaya memunculkan sintesis hubungan manusia dengan lingkungannya di sisi
lain nampak mewarnai paradigma ini. Konsep-konsep region bermunculan sebagai dasar pengenalan ruang
yang lebih detail. Wilayah ditinjau dari segi tipenya (formal and functional regions); wilayah
ditinjau dari segi hirarkinya (the first order, the 2nd order,
the 3rd order etc. regions) dan
wilayah ditinjau dari segi kategorinya ( the single topic,
double topic, multiple topic, combined topic, total regions ) adalah
beberapa contoh konsep-konsep yang muncul sejalan dengan berkembangnya
paradigma regionalisme ini dalam membantu analisis. Di samping itu temporal analysis sebagai salah satu bentuk
dimensi dalam causal analysis berkembang
pula pada periode ini ( Rostov,1960; Harvey, 1969).
Sementara itu Ley (1977) mengatakan bahwa
penekanan studi wilayah ini adalah tetap pada bentuk bentuk karya manusia dan
keterkaitannya dengan bentang alamnya yang sangat berpengaruh terhadap kegiatan
manusia itu sendiri.
regional studies may involve the identification of uniform
regions, the description of segments of the earth surface and specialized
regional monographs. Its focus was on human artefacts rather than on
people, and landscape is taken as a palimpset of human activity……………….
Paradigma
keilmuan pada era ini merupakan akar munculnya pendekatan Geografi yang saat
ini dikenal sebagai pendekatan kompleks wilayah (regional complex approach).
Perkembangan
Paradigma Kontemporer:
Pada masa ini mulai terjadi perkembangan baru di bidang
metoda analisis kuantitatif danmodel building. Perkembangan
paradigma Geografi pada masa ni juga disebut sebagai periode paradigma analisis
keruangan (the spatial analysis paradigm). Coffey(1981) mengemukakan ciri-ciri paradigma Geografi
kontemprer sebagai berikut:
..is characterized by diversity rather than unity; specialisation
rather than generalized coherence. The discipline, as engaged to-day , is
the end product of a complex series of multiple fagmentations. Among
these we may identify (1) the human-physical dichotomy, (2) the tendency to
create special fields as the result of the stress placed upon the non spatial
properties of phenomena under investigation and (3) the emphasis upon techniques
attendant on the rise of quantitative methodologies, (4) there is a distinction
between quantitative and non quantitative methodologies and (5) there is a
dichotomy structure versus process..
Pendapat di atas menyiratkan bawa salah satu ciri-ciri
Geografi komtemporer adalah adanya kecenderungan spesialisasi dan gejala ini
merupakan hal yang kemudian dikhawatirkan oleh banyak pakar akan menjadi pemicu
marginalisasi peranan Geografi itu sendiri karena telah menjauh dari fitrah
Geografi. Ditinjau dari teknik analisisnya, periode perkembangan paradigma
kontemporer dibedakan menjadi periode perkembangan analisis kuantitatif dan
perkembangan penggabungan analisis kuantitatif dan kualitatif. Paradigma
kuantitatif muncul sejalan dengan munculnya revolusi kuantitatif dengan
ditemukannya alat hitung elektronik dan teknik-teknik analisis baru. Pada
pendekatan ini, variabel yang dianalisis lebih terbatas dan tertentu sifatnya
sesuai dengan hupotesis yang dikemukakan, sehingga hasil yang diperoleh
terbatas pada uji hipotesis yabg dikemukakan sebelumnya. Hal ini menjadi
salah satu kelemahan paradigma ini di mana peneliti tidak mampu mengungkapkan
keterkaitannya dengan variabel lain yang sebenarnya ada dalam dunia
nyata. Setiap fenomena yang akan diteliti ditentukan batas-batasnya
terlebih dahulu sehingga peneliti hanya melihat sepotong kejadian dari the real world itu sendiri. Atas dasar
inilah para pakar menyadari pentingnya analisis kualitatif sebagai sesuatu yang
melengkapi analisis kuantitatif untuk mampu memahami the real world yang merupakan fokus penelitian
Geografi.
Paradigma kedua, menggabungkan pendekatan kuantitatif dengan
kualitatif. Hal ini muncul sebagai akibat tidak mampunya pendekatan
kuantitatif untuk menjawab realita kehidupan tentang suatu sistem yang diwarnai
bentuk hubungan antar komponen wilayah dan tidak berdiri sendiri tetapi sangat
kompleks sifatnya. Analisis kuantitatif mengarahkan pada konsistensi penilaian
dan sementara itu analisis kualitatif mengungkapkan kedalaman makna hubungan
antar variabel yang sangat kompleks. Keduanya bersifat komplementer serta
menutupi kelemahan masing-masing.
Fragmen-fragmen perkembangan penelitian dan pemikiran
tersebut kemudian memunculkan berbagai macam definisi Geografi (lihat
lampiran). Namun demikian, dari sekian definisi Geografi dengan berbagai
versi tersebut ternyata mengungkapkan kesamaan-kesamaan mendasar dalam pandangannya.
Ada 3 kesamaan pandangan mendasar yang dapat diperas dari berbagai definisi
Geografi, yaitu:
(1) obyek studi Geografi adalah permukaan bumi sebagai
sasaran studi yang nyata dan bukan sesuatu yang abstrak. Obyek ini selalu
dikaitkan dengan kepentingan manusia (human oriented / human centered
in nature) sebagai environment of humanity, yaitu an environment that influences how people live and organize
themselves and at the same time an environment that people helped to modify and
build.
(2) studi Geografi menekankan pada ”spatial organization” dan hubungan ekologisnya
dengan manusia (Abler et al. 1971). Bagaimana pemanfaatan ruang dengan
baik, pemanfaatan sumber daya dengan baik dan bagaimana organisasi wilayah
dapat ditata untuk mencapai visi ”sustainability”.
(3) studi Geografi menyadari adanya sistem yang di dalamnya
terdapat komponen yang banyak dan kompleks yang saling terkait satu dengan yang
lainnya. Hal ini mengisyaratkan adanya ide bahwa gangguan atau perbaikan
pada salah satu komponen wilayah dapat berimbas positif maupun negatif terhadap
komponen yang lain baik dalam skala wilayah lokal, nasional dan bahkan global.
PENDEKATAN UTAMA GEOGRAFI
Dari latar belakang perkembangan penelitian dan pemikiran
seperti dijelaskan terdahulu, muncullah 3 pendekatan utama Geografi yang saat
ini diikuti oleh geografiwan dunia, yaitu pendekatan keruangan (spatial approach); pendekatan ekologikal (ecological approach) dan pendekatan kompleks wilayah (regional complex approach). Pada masa
perkembangannya pada abad 20 memang terdapat tarik menarik antara ketiga
pendekatan tersebut. Sampai dengan tahun 30an, penelitian-penelitian
cenderung ke pendekatan regional dan perkembangan selanjutnya menunjukkan
pergeseran yang sigifikan. Sampai dengan pertengahan abad 20 (tahun 50an)
penelitian cenderung menekankan pada pendekatan keruangan.. Sampai dengan
akhir abad 20 dan permulaan millenium ketiga, penelitian-penelitian bergeser ke
pendekatan ekologikal.
Pada perkembangan selanjutnya memang muncul pendekatan-pendekatan
baru yang diadopsi dari disiplin ilmu lain, namun demikian pendekatan baru
tersebut sifatnya komplementer terhadap pendekatan utama Geografi.
Pendekatan komplementer ini muncul bukan dari regional based concept sebagai fitrah Geografi,
tetapi dari topik kajian. Disinilah letak krusialnya studi Geografi
apabila menjadikan pendekatan komplementer sebagai pendekatan utama dan
akibatnya adalah marginalisasi peranan Geografi itu sendiri dalam
analisis. Untuk pemantapan peranan geografiwan dalam berbagai bidang
pembangunan, kita harus kembali ke fitrah Geografi dan memahami secara mendalam
akan pendekatan-pendekatan utama Geografi sebagai scientific dignity sehingga keunggulan kompetitif
dan keunggulan komparatif dapat ditampilkan. Atau dengan kata lain dapat
diungkapkan bahwa dengan pemahaman yang mendalam tentang pendekatan utama
Geografi ini, dapat mengarahkan geografiwan dalam memposisikan dirinya dalam
pembangunan secara tepat pada bidang keahliannya sendiri (the right man on the right place) dan tidak terjebak ke
domain ilmu lain sehingga tidak mampu menampilkan kinerja yang maksimal.
Seseorang harus menyadari keterbatasannya dan untuk itu perlu pengarahan
minat khusus (spesialisasi) agar mempunyai ketajaman analisis yang memadai
dalam kerangka keilmuan Geografi.
Berikut ini akan dikemukakan pemahaman pendekatan utama
Geografi berserta contoh aplikasinya, sehinga geografiwan dapat dengan mudah
memahami kehandalannya dan sekaligus keterbatasannya.
Pendekatan Keruangan (Spatial Approach):
Pendekatan keruangan tidak lain merupakan suatu metoda
analisis yang menekankan analisisnya pada eksistensi ruang (space) sebagai wadah untuk mengakomodasikan kegiatan
manusia dalam menjelaskan fenomena geosfer. Oleh karena obyek studi
Geografi adalah geosheric phenomena, maka
segala sesuatu yang terkait dengan obyek dalam ruang dapat disoroti dari
berbagai matra antara lain (1) pola (pattern); (2)
struktur (structure); (3) proses (process); (4)
interaksi (interaction); (5) organisasi dalam sistem keruangan (organisation within the spatial system); (6) asosiasi (association); (7) tendensi atau kecenderungan (tendency or trends), (8) pembandingan (comparation) dan (9) sinergisme keruangan (spatial synergism). Ke sembilan matra tersebut
merupakan penggalian penulis dari berbagai sumber textbooks, journals dan hasil-hasil penelitian
yang diterbitkan oleh para pakar Geografi. Dengan demikian, minimal ada 9
tema analisis dalam spatial approach yang dikembangkan oleh disiplin Geografi, yaitu:
(1)
spatial pattern analysis;
(2)
spatial structure analysis;
(3)
spatial process analysis;
(4)
spatial interaction analsis;
(5)
spatial association analysis;
(6)
spatial organisation analysis;
(7)
spatial tendency / trends analysis;
(8)
spatial comparison analysis;
(9)
spatial synergism analysis.
Dalam mengaplikasikan pendekatan keruangan, seseorang tidak
cukup hanya menyebutnya saja namun harus secara eksplisit dan jelas menyebutkan
tema apa yang akan dianut serta penjelasan mengenai operasionalisasi
pendekatannya. Aplikasi analisis pendekatan keruangan, minimal meliputi 9
macam dan apabila ke sembilan macam tema analisis tersebut harus silaksanakan
maka akan menghabiskan waktu yang lama, tenaga yang banyak, biaya yang besar,
penguasaan teknik analisis yang mendalam serta kemantapan keilmuan yang
memadai. Masing-masing tema analisis mempunyai spesifikasi sendiri yang
terkait dengan spesifikasi obyek kajian yang akan dilaksanakan. Salah satu atau
gabungan dari beberapa di antaranya sangat dimungkinkan untuk dilaksanakan
tanpa mengurangi kadar keilmuannya.
Oleh karena alat inderawi manusia sangat terbatas
kemampuannya untuk mengamati kebnampakan Geografis di sesuatu wilayah atau di
permukaan bumi, maka untuk maksud analisis keruangan seseorang memerlukan alat
bantu. Di sinilah peranan model visualisasi permukaan bumi diperlukan
kehadirannya. Ketersediaan peta, foto udara maupun citra satelit sangat
diperlukan dalam analisis. Namun demikian, gambaran yang ditampilkan
dalam peta, foto udara ataupun citra satelit ternyata masih sangat rumit dan
kompleks sifatnya, sehingga peneliti dituntut untuk mampu mengabstraksikannya
ke dalam visualisasi yang managable. Simbul-simbul
yang lebih sederhana sangat diperlukan dalam hal ini, sehingga analisis dapat
dilaksanakan dengan lebih mudah. Simbul-simbul yang secara konvensional
dan masih dipakai sampai saat ini berujud simbul-simbul titik, garis maupun
bidang. Visualisasi dari salah satu atau gabungan dari padanya sangat
tergantung dari sifat data dan tujuan analisis.
Spatial Pattern Analysis: penekanan
utama dari analisis ini adalah pada ”sebaran”elemen-elemen
pembentuk ruang. Taraf awal adalah identifikasi mengenai aglomerasi
sebarannya dan kemudian dikaitkan dengan upaya untuk menjawab geographic questions. Seperti telah
diketahui bahwa geographic questions yang
dimaksud adalah pertanyaan What, Where, When, Why, Who dan
How atau terkenal dengan 5 W dan 1 H. Sebagai contoh
dapat dikemukakan adanya sebaran kenampakan tertentu (misalnya permukiman) yang mengelompok pada bagian
tertentu dan menyebar pada bagian lain. Dalam hal menjawab 5W dan 1H akan
timbul pertanyaan yang utama yaitu (1) fenomena apa yang akan diteliti (what); dimana gejala tersebut terjadi (where); kapan
kenampakan gejala tersebut ada (when); mengapa
terjadi pengelompokan seperti itu (why); siapa yang
mendiami (who); dan bagaimana proses pengelompokan tersebut dapat
terjadi (how). Di dalam penelitian uraian yang
mengemukakan mengenai jawaban 5W dan 1H ini mestinya akan tercermin dalam
daftar isi yang dibuat oleh peneliti. Kemendalaman analisis akan terlihat
dari penekanan jawaban yang dimunculkan.
Spatial Structure Analysis menekankan pada analsis susunan elemen-elemen
pembentuk ruang. Dalam hal ini perlu dipahami bahwa struktur
elemen-elemen keruangan dapat dikemukakan dari berbagai fenomena baik fenomena
fisikal maupun non fisikal. Sebagai contoh dapat dikemukakan di sini
adalah struktur ruang atas dasar komposisi bentuk pemanfaatan lahannya (dari
segi fisik) atau dari segi struktur mata pencaharian penduduknya (dari segi non
fiisik). Sebagai contoh kongkrit adalah dari ruang tertentu yang terdiri dari
75% pemanfaatan lahan agraris dan 25% pemanfaatan lahan non agraris dan
sementara itu di bagian lain terdapat 25% pemanfaatan lahan agraris dan 75%
pemanfaatan lahan non agraris dan seterusnya. Demikian pula halnya
degan analisis struktur keruangan, tugas utama yang pertama adalah
mengidentifikasi susunan keruangan yang ada baru kemudian dikaitkan dengan
upaya menjawab geographic questions. Jenis
pertanyaan What, When, Where merupakan
pertanyaan yang bersifat deskriptif sedangkan pertanyaan Why, Who dan How merupakan
pertanyaan yang bersifat analitis.
Spatial Process Analysis menekankan pada proses keruangan yang biasanya
divisualisasikan pada perubahan ruang. Perubahan elemen-elemen pembentuk
ruang dapat dikemukakan secara kualitatif maupun kuantitatif. Setiap analisis
perubahan keruangan tidak dapat dilaksanakan tanpa mengemukakan dimensi
kewaktuannya, maka dimensi temporal mempunyai peranan utama dalam hal
ini. Minimal diperlukan dua titik waktu untuk mengenali perubahan.
Sebagai contoh adalah penelitian mengenai perkembangan fisik kota dari tahun
1990 sampai dengan 2005. Dengan membandingkan peta, foto udara atau citra
satelit yang multi temporal maka dapat diketahui mengenai proses keruangan yang
terjadi. Pertanyaan analitis yang perlu dijawab adalah mengapa terjadi
perubahan, bagaimana perubahan itu terjadi dan dampak apa saja yang
mungkin timbul dari perubahan tersebut?
Spatial Interaction Analysis menekankan
pada interaksi antar ruang. Hubungan timbal balik antara ruang yang satu
dengan yang lain mepunyai variasi yang sangat besar, sehingga upaya mengenali
faktor faktor pengontrol interaksi menjadi sedemikian penting. Tahap
selanjutnya adalah menjawab mengapa terjadi interaksi dan bagaimana
interaksi terjadi? Sebagai contoh yang kongkrit adalah proses
pengaruh mempengaruhi antara desa dan kota atau antara Kabupaten X dan
Kabupaten Y atau antara Kecamatan A dan Kecamatan B. Hal ini memang tidak
dapat dipisahkan dari analisis organisasi keruangan.
Spatial Organisation Analysis bertujuan
untuk mengetahui elemen-elemen lingkungan mana yang berpengaruh terhadap
terciptanya tatanan spesifik dari elemen-elemen pembentuk ruang.
Penekanan utamanya pada keterkaitan antara kenampakan yang satu dengan yang
lain secara individua Sebagai contoh kongkrit adalah adanya setting dari kota besar, kota menenengah dan kota
kecil yang berada pada suatu wilayah. Apakah tatanan keruangannya
menunjukkan adanya dominasi pengaruh dari kota tertentu terhadap kota yang
lain? Bagaimana dan mengapa hal tersebut dapat terjadi?
Perbedaan utama dengan Spatial Pattern Analysis adalah
pada visualisasi kenampakannya. Pada analisis pola, penekanan utamanya
pada kekhasan aglomerasi sedangkan pada analisis organisasi terletak pada
keterkaitan / hubungan antar elemen dan hirarki peranan elemen secara
individual. Analisis ini kebanyakan diaplikasikan pada organisasi
keruangan sistem kota-kota atau sistem permukiman di suatu wilayah yang luas.
Spatial Association Analysis bertujuan
untuk mengungkapkan terjadinya asosiasi keruangan antara berbagai kenampakan
pada sesuatu ruang. Apakah ada keterkaitan fungsional atas sebaran
keruangan atau gejala tertentu dengan sebaran keruangan gejala yang lain?
Apakah ada hubungan antara hilangnya lahan pertanian dengan makin banyaknya
pendatang-pendatang di suatu daerah / meningkatnya lahan permukiman baik dalam
jumlah maupun luasannya? Apakah ada asosiasi keruangan antara kepadatan
penduduk dengan peningkatan tindak kriminal di beberapa tempat di kota?
Untuk mengetahui ada atau tidaknya asosiasi keruangan antara variabel sati
dengan variabel lain dapat dilaksanakan dengan analisis yang mendasarkan pada
visualisasi data pada peta ataupun dapat dilaksanakan dengan metode analisis
statistik.
Spatial Tendency/Trend Analysis adalah
suatu analisis yang menekankan pada upaya mengetahui kecenderungan perubahan
suatu gejala. Hal ini dapat dilakukan berdasarkan space based analysis, time based analysis maupun gabungan antara space dan time based analysis. Sebagai
contoh adalah untuk mengetahui apakah terjadi kecenderungan perkembangan kota
ke arah tertentu? Faktor-faktor apa yang menjadi determinan dan bagaimana
proses terjadinya serta konsekuensi keruangan apa yang bakal terjadi baik untuk
jangka pendek maupun jangka panjang? Dengan mengeplot beberapa unsur
morfologi kota baik dalam dimensi multi temporal ataupun bukan, seseorang akan
mampu membaca kecenderungan yang akan terjadi dengan asumsi semuanya berjalan
seperti apa yang telah terjadi sebelumnya. Dalam penelitian untuk program
doktor, hal ini mernjadi tuntutan yang harus dikerjakan oleh peneliti karena
menyangkut prognostasi keruangan yang menjadi salah satu persyaratan
kualifikasi ilmiahnya. Analisis ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari
tema-tema analisis sebelumnya, seperti spatial pattern anlysis,
spatial structure analysis, spatial process analysis dan
mungkin jugaspatial association analysis.
Spatial Comparison Analysis merupakan suatu analisis yang bertujuan untuk
mengetahui kelemahan atau keunggulan sesuatu ruang dibandingkan dengan ruang
yang lain. Hal ini sangat penting dilaksanakan dalam studi banding yang
mendalam mengenai sesuatu wilayah dalam rangka mempelajari kelebihan-kelebihan
wilayah lain untuk digunakan sebagai dasar penentuan kebijakan pengembangan
wilayah, sehingga wilayahnya dapat mengalami kemajuan yang lebih besar.
Kebanyakan studi banding yang dilakukan oleh ”para pejabat” tidak dilaksanakan
secara mendalam ilmiah, namun lebih banyak diwarnai oleh wisata yang tidak
diikuti oleh analisis mendalam mengenai obyek kajiannya. Mestinya, suatu
studi banding harus melibatkan akademisi yang kompeten di bidangnya dan
bertugas untuk melaksanakan comparative analysis yang
mendalam ilmiah sehingga pengalaman wilayah lain baik berupa pengalaman negatif
ataupun positif dapat dijadikan sebagai pelajaran yang bermanfaat bagi
daerahnya. Sebagai contoh nyata adalah studi banding mengenai upaya
mengatasi degradasi lahan di sesuatu wilayah. Hal-hal terkait dengan
bentuk degradasi lahan, penyebab degradasi lahan, dampak degradasi lahan dan
upaya mengatasi degradasi lahan dapat dikemukakan dan hal ini dapat
dilaksanakan dengan baik oleh pakar yang berkompeten mengenai degradasi lahan.
Spatial Synergism Analysis merupakan
perkembangan baru yang saat ini menjadi sorotan ilmu pengetahuan, karena sangat
terkait dengan erat dengan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, khusus
teknologi di bidang transportasi dan komunikasi. Makin majunya
sistem transportasi dan komunikasi telah memungkinkan terjadinya mobilitas
barang, jasa, informasi dan orang menjadi senakin tinggi, sehingga dinamika
keruangan juga mnenjadi semakin tinggi. Dalam era teknologi informasi
yang mengglobal, batas-batas wilayah dalam kegiatan manusia menjadi semakin
kabur. Hal inilah semestinya dimanfaatkan sedemikian rupa dalam setiap
program pembangunan, khususnya pembangunan wilayah untuk menciptakan kerja sama
antar wilayah / antar ruang, sehingga nilai lebih yang ditimbulkan oleh kerja
sama tersebut jauh lebih besar apabila dibandingkan dengan tanpa kerja sama
antar wilayah / ruang atau berdiri sendiri-sendiri. Bidang ini apabila
dikemas dengan baik sebenarnya merupakan kompetensi ilmu Geografi yang memiliki
keunggulan komparatif dan kompetitif. Saat ini ide-ide spatial synergismmasih berupa wacana yang kabur,
sebagai contoh adalah ide Joglo Semar, Kartamantul dan sejenisnya, belum
merupakan suatu konsep pembangunan yang mantap dalam mencapaispatial synergism yang mantap atau bahkan nyaris
kabur. Spatial synergism hanya akan berfunmgsi efisien
dan efektif apabila disertai dengan konsep functional synergism.
Beberapa tema analisis keruangan yang dijelaskan di atas
dapat berdiri sendiri-sendiri maupun dapat merupakan gabungan dari beberapa
tema analisis tergantung dari pada tujuan dan kemendalaman pengetahuan yang
akan dicapai peneliti. Sebagai contoh upaya analisis kecenderungan
keruangan mungkin dapat dimulai dari identifikasi pola sebaran atau struktur
tentang fenomena geosfera yang akan diteliti dan kemudian dilanjutkan dengan
analisis proses keruangan. Apabila diperlukan dapat pula analisis
interaksi dan asosiasi keruangannya dan akhirnya baru dianalisis kecenderungan
keruangan yang terjadi berdasarkan fakta empirisnya.
Pendekatan Ekologis (Ecological
Approach):
Oleh karena pendekatan ini mengacu pada kajian ECOLOGY maka
perlu dipahami terlebih dahulu mengenai makna ekologi itu sendiri.
Menurut Worster (1977) secara garis besar ekologi adalah ilmu yang mempelajari
tentang keterkaitan antara organisme dengan lingkungannya. Namun dalam
perkembangannya, ilmu ini mempunyai arah yang bermacam-macam dan paling tidak
ada 3 macam arah perkembangannya. Arah perkembangan pertama terfokus pada
analisis keterkaitan atau interaksi antar organisme dan juga dengan
lingkungan biotik dan abiotiknya dan bagaimana akibat yang
ditimbulkannya. Arah perkembangan kedua sering disebut sebagai scientific ecology atau professional ecology. Hal ini merupakan
subdisiplin dari biologi. Arah perkembangan yang ketiga berkaitan dengan
masalah politik / kebijakan publik dan selalu dikaitkan dengan ide-ide normatif
dalam masyarakat sehingga analisisnya selalu terkait dengan norma-norma yang
berkembang dalam masyarakat. Namun demikian pengertian ekologi yang luas,
dianut adalah pengertian yang pertama.
Dalam Geografi, seseorang harus membatasi diri dalam
analisis karena adanya keterbatasan-keterbatasan akademik yang dipunyai oleh
ilmu Geografi itu sendiri dan jangan sampai terjebak ke dalam scientific ecology yang dikembangkan oleh disiplin
biologi, karena ilmu Geografi tidak mempunyai kemampuan untuk itu.
Sebagai contoh adalah analisis yang berusaha mengungkapkan mengapa terjadi
penurunan populasi badak jawa di daerah suaka margasatwa Ujung Kulon. Dalam
hal ini bidang scientific ecologylebih cocok
dibanding dengan bidang lainnya karena pengetahuan mendalam mengenai
karakteristik anatomis badak, kondisi habitat, penyakit, analisis laboratoris
tentang komposisi makanannya dan lain sebagainya dapat dilakukan oleh ahli
biologi dan bukan oleh ahli Geografi. Ilmu Geografi tidak dibekali dengan
ilmu pengetahuan seperti disebutkan.
Berdasarkan uraian di atas timbul pertanyaan mendasar yaitu
pendekatan ekologi seperti apa yang kemudian dikembangkan dalam disiplin
Geografi? Seperti dikemukakan pada bagian terdahulu, bahwa Geografi
adalah ilmu yang bersifat ”human oriented” sehingga
manusia dan kegiatan manusia selalu menjadi fokus analisis dalam keterkaitannya
dengan lingkungan biotik, abiotik maupun lingkungan sosial, ekonomi dan
kulturalnya (Dangana and Tropp,1995). Manusia dalam hal ini tidak boleh
diartikan sebagai makhluk biologis semata yang setaraf dengan makhluk hidup
lainnya, namun adalah sosok yang dikarunia daya cipta, rasa, karsa dan karya
atau makhluk yang berbudi daya. Dengan demikian interrelasi antara
manusia dan atau kegiatannya dengan lingkungannya akan menjadi tekanan analisis
dalam pendekatan ekologi yang dikembangkan dalam disiplin Geografi.
Berdasarkan inventarisasi penelitian yang ada dapat disimpulkan bahwa
pendekatan ekologi dalam Geografi mempunyai 4 tema analisis utama, yaitu:
(1) human behaviour – environment
theme of analysis;
(2)
human activity (performance) – environment theme of analysis;
(3)
physico natural features (performance) – environment theme of analysis;
(4)
physico artificial features (performance) – environment theme of analysis;
Tema analisis human behaviour – environment interactions memfokuskan
pada perilaku manusia baik perilaku sosial, perilaku ekonomi, perilaku kultural
dan bahkan perilaku politik baik yang dilakukan oleh seseorang atau komunitas
tertentu. Sebagai contoh dapat dikemukakan di daerah tertentu terdapat
sekelompok penduduk yang selalu menebangi kayu pada hutan lindung. Untuk
mencari jawaban mengenai latar belakang mengapa komunitas tersebut berperilaku
seperti itu, arus dicari unsur-unsur internal maupun eksternal yang terkait
dengan perilaku tersebut. Apa latar belakangnya, bagaimana prosesnya, apa
dampaknya serta apa dan bagaimana upaya mengatasinya menjadi pembahasan sentral
dari analisis yang bertemakan “human behaviour – environment
analysis” ini.
Tema analisis human activity – environment
interactions menekankan
pada kinerja dari bentuk-bentuk kegiatan manusia. Latar
belakang perilaku bukan menjadi pembahasan sentral namun kegiatan manusianya
yang menjadi pembahasan sentral. Perilaku lebih menekankan pada attitude sedangkan kegiatan manusia lebih
difokuskan pada external performance dari attitude itu sendiri. Kegiatan terkait
dengan tindakan manusia dalam menyelenggarakan kehidupannya sedangkan perilaku
terkait dengan sikap batiniah dan persepsi seseorang atau sekelompok orang
terhadap lingkungannya. Dalam hal ini dikenal berbagai kegiatan manusia
dalam menyelenggarakan kehidupannya antara lain kegiatan pertanian,
pertambangan, perikanan, industri, pembangunan perumahan, transportasi, turisme
dan lain sejenisnya. Sebagai contoh dapat dikemukakan adanya usaha
industri genting di berbagai daerah. Di daerah yang satu terlihat kemajuan
yang sangat bagus, di tempat lain tidak menunjukkan adanya kemajuan dan bahkan
kemunduran. Dalam hal ini seseorang dituntut untuk mampu mengungkapkan
penyebab terjadinya dengan mengidentifikasi faktor-faktor internal (yang
terkait dengan industri) dan faktor-faktor eksternal yang merupakan
elemen-elemen lingkungannya dan kemudian menganalisisnya, sehingga ditemukan
faktor-faktor mana yang paling menentukan dan faktor-faktor mana yang tidak.
Tema analisis physico natural features – environment
interactions menekankan
pada keterkaitan antara kenampakan fisikal alami dengan elemen-elemen
lingkungannya. Sebagai contoh dapat dikemukakan di sini adanya sebuah
danau alami yang menunjukkan gejala peningkatan polusi air dan kemudian
mengakibatkan banyaknya biota danau khususnya ikan yang mati. Gejala
menurunnya kualitas air danau dapat ditelusuri dengan menganalisis keterkaitan
antara faktor-faktor internal (danau itu sendiri) maupun faktor-faktor
eksternal (lingkungan di sekitar danau/di luar danau) seperti kondisi curah
hujan, kondisi tata guna lahan, cara pengolahan lahan, penggundulan hutan,
industri yang membuang limbah ke air yang bermuara di danau, daerah permukiman
di sekitar danau maupun daerah hulu dan lain sejenisnya. Dengan meneliti
keterkaitan faktor-faktor tersebut diharapkan dapat menemukan jawaban mengapa
terdapat penurunan kualitas air danau dan sekaligus seorang geografiwan akan
mampu mencari solusinya baik preventif, kuratif maupun inovatif.
Tema analisis physico artificial features – environment
interactions memfokuskan
pada keterkaitan antara kenampakan fisikal budayawi dengan elemen lingkungan di
mana obyek kajian berada. Sebagai
contoh dapat dikemukakan di sini yaitu di suatu daerah permukiman tertentu yang
semula tidak terjadi penggenangan namun pada akhir-akhir ini terjadi
penggenangan sehingga mengakibatkan terjadinya deteriorisasi lingkungan yang
hebat. Kompleks permukiman merupakan bentukan artifisial yang bersifat
fisikal. Dalam hal ini peneliti dapat bertitik tolak dari faktor-faktor
internal (permukiman itu sendiri) dan juga faktor-faktor eksternal (di luar
permukiman tersebut) yang diperkirakan mempunyai keterkaitan erat dengan
munculnya penggenangan. Apakah terdapat perubahan iklim khususnys curah
hujan, perubahan alur sungai, kondisi laut, kerusakan hutan, penambahan luas
pengerasan permukaan tanah yang berakibat bertambahnya run off, hilangnya kantong-kantong penampung air karena
faktor alami atau faktor non alami (kebijakan pembangunan yang salah) dan lain
sebagainya. Dengan meneliti keterkaitan antara permukiman dan
faktor-faktor lingkungannya dapat diketahui penyebab utamanya dan sekaligus
geografiwan akan mampu memberikan masukan tentang berbagai alternatif
pemecahannya.
Pendekatan Kompleks Wilayah (Regional Complex Approach):
Pendekatan ini tidak hanya kombinasi antara pendekatan
keruangan dan pendekatan ekologis namun merupakan integrasi dari
pendekatan keruangan dengan pendekatan ekologis. Dalam hal
ini perlu disadari dan dipahami secara benar tentang pemakaian istilah regional complex. Istilah ini mengisyaratkan
adanya pemahaman yang mendalam tentang property yang
ada dalam wilayah yang bersangkutan dan merupakanregional entity.
Kompleksitas gejala menjadi dasar pemahaman utama dari eksistensi wilayah di
samping efek internalitas dan eksternalitas dari padanya. Sebagai contoh
dapat dikemukakan di sini adanya gejala environmental
deterioration yang terjadi di Kawasan Dieng. Di samping
upaya untuk menemukan penyebab proses, dampak deteriorisasi di kawasan tersebut
peneliti dituntut tetap menelusuri dampak yang mungkin timbul di kawasan lain
di luar kawasan Dieng, seperti pada dataran rendah di bagian selatannya
termasuk Waduk Mrica bahkan sampai ke Kabupaten Cilacap. Ternyata
kerusakan lingkungan Di Kawasan Dieng juga mempunyai dampak luas terhadap
pendangkalan Waduk yang sangat berguna bagi pertanian di dataran rendah (The Domino Effect). Tingginya pengendapan sedimen
akibat erosi di daerah hulu akan berakibat terhadap umur waduk. Tanpa
pengendalian terpadu eksistensi waduk akan terancam dan kalau ini sampai
terjadi maka social cost yang timbul tidak
terkirakan besarnya karena menyangkut sustainabilitas produk pertanian dan
kesejahteraan petani.
Akibat yang jauh terlihat juga di Kabupaten Cilacap walaupun
akibat kerusakan di daerah Dieng bukan penyebab satu-satunya. Hal ini
khusus terlihat pada tingginya proses sedimentasi di muara sungai
Serayu. Apabila hal ini tidak segera mendapat perhatian maka pada waktu
yang akan datang eksistensi pelabuhan Cilacap beserta kehidupan nelayan di
sekitarnya akan mengalami gangguan yang signifikan di samping adanya gangguan
lain yang berasal dari sedimentasi yang berasal dari Sungai Citanduy.
Dengan membandingkan citra satelit yang ada intensitas sedimentasi di muara
sungai Serayu dapat dipantau dan gejala ini tidak dapat dilepaskan dari proses
deteriorisasi yang terjadi di kawasan hulu Sungai Serayu khususnya Kawasan
Dieng. Analisis terpadu dari berbagai disiplin ilmu memang diharapkan
adanya untuk memecahkan masalah yang terjadi, khususnya mencari umbi
permasalahannya, mengindentifikasi the working forces, mengidentifikasi the working process, mengidentifikasi the impacts dan akhirnya dapat dirumuskan
alternatif pemecahannya.
Berdasarkan identitas keilmuan disiplin Geografi, sangat
jelas bahwa kompetensi pokoknya adalah kepakaran dalam tata wilayah, karena
obyek kajian utama disiplin ini adalah permukaan bumi. Oleh karena itu
peranan Geografiwan dalam setiap program pembangunan wilayah seharusnya menduduki posisi kardinal dan bukan marginal. Hal
ini dapat diraih apabila jati dirinya sebagai Geografiwan dengan penguasaan
pendekatan utamanya dapat dilakukan, karena hal inilah yang sebenarnya
merupakan keunggulan komparatif dan kompetitif ilmu Geografi. Tanpa
pemahaman dan penguasaan yang mantap mengenai pendekatan utama ini sangatlah
sulit berperanan dalam program pembangunan berbasis wilayah di mana setiap
program pembangunan berbasis wilayah pasti selalu mempertimbangkan aspek
keruangan (spatial aspects), aspek kelingkungan (environmental aspects) aspek kewilayahan (regional aspects).
PENUTUP
Sebagai penutup
uraian, secercah harapan muncul di hati penyaji semoga apa yang diuraikan dapat
menjadi iluminasi teman-teman dosen dan adik-adik Geografiwan di Universitas
Negeri Malang. Pendekatan Geografi yang merupakan jati diri disiplin
geografi ini harus betul-betul dipahami dan dihayati, khususnya para dosen,
karena di atas pundaknyalah kualitas generasi penerusnya berada.
Bagaimana mungkin seorang dosen mengarahkan, membimbing, mengajar mengenai
disiplin ilmu tertentu, tetapi dirinya tidak memahami jati diri keilmuannya
dengan mantap?
Dalam kesempatan ini pula saya mengucapkan terima kasih pada
para alumni Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada yang sekarang mengemban
tugas di Jurusan Geografi, FIS, Universitas Negeri Malang atas prakarsanya
mengundang saya untuk berbagi ilmu di forum ini. Semoga sedikit uraian
ini dapat menjadi obat rindu, dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu
Geografi. Saya menyadari bahwa uraian saya tidak dapat mencakup
keseluruhan materi karena terbatasnya waktu dan saya betul-betul menghimbau
untuk memahami secara mendalam pula mengenai ecological
approach, regional approach dan regional complex approach. Di samping itu saya sangat bahagia melihat kemajuan belajar
staf pengajar di jurusan ini, semoga semakin sukses dan kerja sama dalam
melaksanakan Tri Darma Perguruan Tinggi dengan Fakultas Geografi, Universitas
Gadjah Mada semakin erat.
R
E F E R E N S I
Ad Hoc Committee
on Geography. 1965. The Science of Geography. Washington
D.C.: Academy of Sciences.
Abler, R.;
J.S.Adams; P.Gould . 1971. Spatial Organization: The
Geographers View of the World. New Jersey: Prentice
Hall, Inc.
Ackerman,
E.A. 1963. Annals of the Association of
American Geographers. 53.
Boulding, Kenneth
E. 1968. General System Theory: The Skeleton of Science, in
Walter Buckley (ed.), Modern Systems Research for the
Behavioural Scientist. Chicago: Aldine.
Coffey, W.J.
1981. Geography: Towards A General Spatial Systems Approach. London:
Methuen and Co., Ltd.
Dangana, L and
Tropp, C. 1995. “Human Ecology and and Environmental Ethics”. In M.Archia and
S.Tropp (eds.) Environmental Management: Issues and
Solution. Chichester: John Wiley and Sons.
Dicken, P.
1998. Global Shift: The Transformation of the Global Economy.London:
Sage.
Featherstone, M
(ed.) .1990. Global Culture. London:
Sage.
Haggett, P.
1983. Geography: A Modern Synthesis. New York:
Harper and Row Publishers.
Hartshorne, R.
1959 Perspectives on the Nature of Geography. London:
Murray.
Herbert, D.T. and
Colin J. Thomas. 1982. Urban geography: A First
Approach.New York: John Wiley and Sons.
Hirst, P and
Thompson, G. 1996. Globalization in
Question. Cambridge: Polity Press.
Johnston, R.J;
Derek Gregory; Geraldine Pratt and M.Watts. 2000. The Dictionary of Human Geography. Oxford:
Blackwell Publishers Ltd.
Waters, M.
1995. Globalization. London: Routledge.
WCED. 1987. Our Common Future. Oxford: Oxford
University Press.
Worster, D.
1977. Nature’s Economy: A History of Ecological Ideas. Cambridge:
Cambridge University Press.
Yeates, M.
1968. Introduction to Quantitative Analysis in
Economic Geography. New Jersey: Englewood Cliffs.
Yunus, Hadi Sabari
2005. Metode Penelitian Geografi Manusia: Pendekatan
dan Permasalahan Penelitian. Disampaikan
dalam Forum Seminar Pendekatan dan Metode Penelitian Geografi dalam
Rangka Penyusunan Disertasi. Yogyakarta: Fakultas Geografi
Universitas Gadjah Mada.
Yunus, Hadi Sabari
2006. Megapolitan: Konsep, Problematika dan Prospek. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Yunus, Hadi Sabari
2010. Metodologi Penelitian Wilayah
Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.