oleh
(SMPN 10 Kota Cimahi-Jabar)
Tulisan ini ku mulai dari rasa
syukur dan keyakinan bahwa Allah SWT tidak pernah salah menggariskan kehidupan
untukku. Aku bersyukur karena pada akhirnya bisa menjadi seorang guru IPS karena Allah menjadikanku manusia
yang menjadi “manusia” dengan profesiku menjadi guru IPS.
Perlahan tapi pasti, aku begitu semakin menikmati tugasku yang
ternyata sangat menyenangkan dan membahagiakan. Setiap hari aku bertemu dengan siswa dan setiap
hari itu pula aku belajar
dari ketulusan, kepolosan dan keaktifan mereka yang terkadang berlebihan. Ini mengingatkanku pada masa ketika aku masih sekolah. Aku pun bertanya pada
diriku sendiri apakah dulu
aku juga berprilaku seperti mereka?
Ingin tertawa atau sedih ya ... hmm.
Teringat kembali di awal aku
mulai mengajar. Hari itu aku belajar bersikap
bijak sebagai guru bagaimana mengatasi masalah antara aku dan siswaku. Ternyata bijak tidak akan membuat
seseorang sakit hati, walau keinginannya tidak terpenuhi. Bijak adalah proses
awal sebagai guru untuk menarik simpati siswaku.
Bijak yang kulakukan didapat dari pengalaman mengajar pertamaku saat mengajar di salah satu SMA. Ini artinya usia siswa-siswiku
tidak terpaut jauh dari usiaku. Untuk materi pembelajaran mungkin tidak ada
masalah, tapi dari segi interaksi sosial cukup membuatku punya cerita unik. Sikap
bijak tersebut berawal saat aku ditaksir siswaku. Saat itu dengan bijak aku bisa menolak dan menyikapinya
dengan baik sehingga tidak menimbulkan rasa malu dan sakit hati baginya.
Pelajaran kedua yang kudapat
adalah jangan cepat berprasangka jelek pada orang lain, tapi waspada itu wajib. Pelajaran ini kudapat
sebagai lanjut dari cerita di atas. Di mana waktu berlalu dan siswaku sudah tamat
SMA. Aku sudah lupa wajahnya, tapi
mungkin dia masih ingat wajahku. Ketika aku sedang menunggu suami menjemputku setelah
selesai jam mengajar di pingir jalan, tiba-tiba ada seorang laki-laki
yang berusaha mendekatiku. Aku mulai mengambil jarak, tapi dia semakin berusaha untuk
mendekatiku. Aku cemas, setelah dekat dia menggapai tanganku dan menciumnya lalu
berkata “Ibu lupa sama saya? Saya murid ibu yang waktu itu bilang suka ke Ibu.
Apa kabar, Ibu?” Aku terhenyak, oh ternyata aku salah sangka.
Aku ingin tertawa terbahak-bahak kalau
ingat peristiwa konyol itu. Walau begitu satu pembelajaran yang kudapat, yaitu baik sangka dan waspada.
Pembelajaran yang kudapat
berikutnya adalah kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda, penyesalan selalu
diakhir tapi tidak ada kata terlambat memperbaikinya. Nasehat ini kudapat
ketika pindah mengajar mengikuti tempat tugas suami. Kala itu statusku sudah PNS. Aku mengajar SMP di sebuah Kecamatan.
Masyarakat di sekitarku terpola tidak begitu mementingkan pendidikan formal,
karena bagi mereka bekerja dan memiliki penghasilan lebih utama untuk dipenuhi.
Alhasil, banyak anak-anak yang seharusnya masih usia sekolah tapi tidak
bersekolah. Mereka lebih memilih bekerja agar punya penghasilan sendiri
walaupun pekerjaan yang mereka lakukan hanya sebagai buruh kasar.
Di sekolah tersebut, aku memiliki siswi yang telah
yatim piatu. ia diasuh oleh neneknya. Cara mendidik neneknya salah, walau atas nama kasih sayang. Memanjakan
siswi tersebut terlalu berlebihan, sehingga jarang sekolah karena bangun
kesiangan dan kurang kemampuan secara akademik karena tidak mau belajar.
Sekolah masih dianggap sebagai formalitas usia wajib belajar. Hingga pada
akhirnya aku harus merelakannya untuk tinggal kelas setelah usahaku sebagai
wali kelas gagal “mengangkatnya”. Ketika pengambilan rapor aku ingin menangis
juga seperti tangisan paman dan bibinya yang mengambil rapor dan tegar menerima
kegagalam ponakan mereka dan masih sanggup berterimakasih padaku sebagai wali
kelasnya. Lalu kemudian siswi itu pindah dan mengulang kelas di sekolahnya yang
baru di ibu kota provinsi. Hari itu perasaanku benar terluka menandatangani
rapor dengan keterangan “tidak naik kelas”.
Setahun kemudian, aku menerima
telepon darinya tanpa kuduga, karena kupikir dia akan membenciku. Tapi kalimat
indah yang kudengar “Ibu, terimakasih karena bimbingan dan nasehat dari Ibu
waktu aku tidak naik kelas telah membuatku sadar. Aku sekarang rangking kelas, Bu. Aku menyesal dan ngin
bertemu ibu suatu hari nanti.” Sayang silaturahim kami akhirnya putus karena handphone-ku
hilang.
Nasehat akhir yang kudapat saat mengajar di pulau seberang adalah pemanfaatan
teknologi melalui media sosial menjadi penyambung tali silaturahim, guru tidak hanya berfungsi sebagai transfer knowledge tetapi teacher is transformate knowledge. Untuk kesekian kalinya aku pindah sekolah
lagi mengikuti tempat tugas suamiku. Sekolah terakhir tempat aku membaktikan ilmuku, yaitu di sebuah MTsN. Banyak cerita “indah” yang kudapat dari
mereka yang menganggapku tidak hanya sebagai guru tapi juga menjadi “ibu” dan
teman curhat mereka. Hingga akhirnya aku kembali pindah tugas mengikuti
suamiku. Ketika mereka mengantarku di bandara kalimat perpisahan dan permintaan
mereka, “Ibu jangan lupakan
kami dan ijinkan kami tetap menjalin silaturahiim dengan Ibu.” Ternyata ucapan mereka bukan basa basi, karena hingga kini hubungan kami
masih terjalin baik,. Hingga kini mereka tetap mengabariku dengan aneka cerita tentang mereka, baik wisuda maupun pernikahan. Sayangnya hingga kini aku belum pernah bisa menghadiri
undangan hari bahagia mereka.
Banyak pembelajaran yang
kuterima dari persahabatan dengan siswa-siswiku. Bijak, usaha gigih, manfaat teknologi dalam media
sosial serta menyadari bahwa dunia itu kecil. Menjadi guru bukan hanya sekedar
membangun kemampuan kognitif, afektif dan
psikomotoriknya, tapi
menjadi guru juga membangun karakter manusia sebagai makhluk sosial sesuai
dengan tujuan pembelajaran IPS. Pengalaman telah membuatku memahami menjadi
guru adalah sebuah anugerah, dan IPS adalah jalanku menjadi “manusia yang
manusia”.