oleh Enang Cuhendi
Tujuh puluh empat tahun yang lalu bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Saat itu 17 Agustus 1945 bertempat di rumah Bung Karno jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta Ir. Soekaro (Bung Karno) dan Drs. Moh. Hatta (Bung Hatta) bertindak atas nama Bangsa Indonesia membacakan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia. Momentum ini menjadi tonggak penting dalam sejarah nasional sekaligus merupakan bukti kepada dunia Internasional bahwa Indonesia telah berdaulat.
Terkait dengan peristiwa proklamasi tersebut ada beberapa kisah menarik
yang tak banyak diketahui orang perihal proses pembuatan naskah proklamasi ini.
Teks proklamasi kemerdekaan Indonesia uniknya dirumuskan di rumah seorang
perwira Angkatan Laut Jepang, yaitu Laksamana Muda Maeda. Di rumah inilah Bung
Karno, Bung Hatta dan Mr. Ahmad Soebardjo berperan sebagai tim perumus
merumuskan naskah teks proklamasi kemerdekaan. Banyak sumber menyebutkan bahwa
naskah proklamasi ditulis tangan oleh Soekarno di atas secarik kertas yang
disobek dari sebuah buku catatan dan kalimatnya didiktekan oleh Hatta dan Ahmad
Soebardjo.
Sebelumnya konsep (klad) naskah Proklamasi disetujui,
rumusan itu harus diketik terlebih dahulu sebelum diajukan kepada para anggota
PPKI dan lainnya yang menunggu di ruangan tengah. Dalam naskah klad terdapat beberapa coretan dan
perubahan akibat pertukaran pendapat. Seperti kata “secermat-cermatnya” diganti
dengan “saksama.” Setelah selesai ketiga tokoh tersebut menyampaikannya kepada
semua yang hadir.
![]() |
Sayuti Melik |
Perihal yang disuruh nengtik menurut Ahmad Subardjo, Sukarni yang
kebetulan memasuki ruangan, diminta untuk mengetiknya. “Saya lihat dia pergi ke
suatu ruang dekat dapur di mana Sayuti Melik dan lain-lain
duduk-duduk. Terdapat satu mesin tik di situ dan Sayuti Meliklah mengetik teks
dari tulisan tangan Sukarno,” kata Subardjo. Akan Tetapi menurut Sayuti Melik
yang diamini oleh B.M. Diah, wartawan harian Asia Raya, Soekarno sendiri yang
memintanya untuk mengetik naskah.
Sayuti Melik menyatakan naskah Proklamasi tidak langsung bisa diketik
karena di rumah Maeda tidak tersedia mesin tik. Tetapi, ada sumber yang
menyebutkan, sebenarnya mesin tik ada tetapi berhuruf kanji sehingga sulit
digunakan. Untuk itu, Satzuki Mishima, pembantu Maeda dengan mengendarai jeep pergi
ke kantor militer Jerman untuk meminjam mesin tik. Satzuki bertemu Mayor
Kandelar, perwira Angkatan Laut Jerman, yang lalu meminjamkan mesin tik itu.
Dengan ditemani BM Diah, Sayuti Melik mengetik naskah Proklamasi di
ruangan bawah tangga dekat dapur. Dia mengetik naskah Proklamasi dengan
perubahan: “tempoh” menjadi “tempo”; kalimat “wakil-wakil bangsa Indonesia”
diganti “Atas nama Bangsa Indonesia” dengan menambahkan nama “Soekarno-Hatta”;
serta “Djakarta, 17-8-05” menjadi “Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05. Angka
tahun ’05 adalah singkatan dari 2605 tahun showa Jepang, yang
sama dengan tahun 1945. Sayuti Melik berani mengubah ejaan itu karena pernah
sekolah guru dan merasa lebih mengetahui soal ejaan bahasa Indonesia daripada
Bung Karno.
Proses pengetikan naskah proklamasi oleh Sayuti Melik dilakukan dengan
tergesa-gesa. Akibatnya hasil ketikan kurang rapi, sedikit kurang lurus. Selain
itu ia pun tidak membuat rangkap naskah teks yang diketiknya untuk arsip. Setelah
naskah Proklamasi yang diketik itu dibacakan di depan rapat dan disetujui,
barulah Sukarno dan Hatta membubuhkan tanda tangannya. Naskah itu yang hingga
kini disebut sebagai Naskah Proklamasi Otentik.
Adapun konsep tulisan tangan Sukarno yang kemudian disebut sebagai Naskah Proklamasi Klad ditinggalkan begitu saja di dekat mesin tik. Karena rasa gembira, teks asli itu terlupakan dan hampir saja terbuang ke tong sampah di rumah Laksamana Maeda, beruntung naskah tersebut berhasil diselamatkan oleh BM Diah
.
Seperti dikisahkannya dalam biografi yang ditulis oleh Dasman
Djamaluddin, Butir-butir Padi B.M. Diah, Tokoh Sejarah yang Menghayati
Zaman dan diterbitkan oleh Pustaka Merdeka tahun 1992, B.M. Diah
mengungkapkan untuk terakhir kalinya sebelum bubaran, ia melongok lagi ke
tempat Sayuti Melik mengetik dan mendapati naskah klad tadi di tempat sampah di rumah
Laksamana Maeda. Ia mengambil naskah tersebut, melipat dan memasukannya
ke sakunya. Naluri B.M. Diah yang saat itu sudah menjadi wartawan, mendoronnya untuk menyelamatkan bukti bukti
setiap momen atau peristiwa.
Entah apa jadinya jika Burhanuddin Muhammad Diah tak memungut kertas
yang dibuang oleh Sayuti Melik itu. Mungkin naskah sudah masuk ke tong sampah
dan kita tak akan pernah melihat konsep naskah proklamasi. Meski secara otentik
naskah proklamasi yang diakui adalah hasil ketikan Sayuti Melik, namun
keberadaan kertas konsep tulisan tangan Soekarno yang redaksinya didikte oleh
Hatta itu adalah termasuk arsip penting sebagai memori bangsa. Tanpa adanya
kertas lecek itu kita mungkin tidak bisa melihat latar belakang yang mempengaruhi
proses pembuatan naskah proklamasi kemerdekaan negara kita tercinta ini.