oleh Henhen Rohendi
(Guru IPS SMPN 1 Leles-Garut-Jabar)
Kecamatan Cisompet luasnya ± 17.225
Ha, merupakan salah satu wilayah di bagian selatan Kabupaten Garut. Wilayahnya berada
pada ketinggian 25-1100 dpl. Sebagian besar berupa hutan (29%),dan perkebunan
(27%). Sisanya perkampungan (5%),
pesawahan (7%), tegalan (9%), padang semak (5%), kebun campuran (15%), dan lain-lain (3%). Letak Geografis Kecamatan
Cisompet:
PetaKabupatenGarut
|
- Utara
berbatasan dengan Kecamatan Cikajang, Cihurip dan Singajaya.
- Selatan
berbatasan dengan Kecamatan Pameungpeuk, dan Cibalong.
- Barat
berbatasan dengan Kecamatan Cikelet, dan Pakenjeng.
- Timur
berbatasan dengan Kecamatan Cihurip, Peundeuy, dan Cibalong.
Menyoal masalah wajib belajar
pendidikan dasar (WAJAR DIKDAS) di Kecamatan Cisompet, hampir semua anak usia
sekolah terdaftar pada lembaga pendidikan. Untuk jenjang SMP bukan hanya
sekolah regular, SMP terbuka pun menjadi
pilihan anak atau orang tuanya. Hanya saja kaitannya dengan SMP terbuka
keberadaannya seperti hidup enggan mati tak mau. Bagi para siswa dan orang tua
yang mengutamakan proses pembelajaran, walaupun jaraknya sangat jauh SMP regular menjadi tujuan mereka.
Para siswa rela berjalan jauh
setiap hari untuk sampai di sekolah. Perjalanan mereka ada yang sejauh 10 Km bahkan
lebih dengan berjalan kaki. Medan yang ditempuh berupa jalan desa yang
kondisinya rusak melewati daerah perkampungan, perkebunan, dan hutan semak.
Setiap hari mereka menghabiskan separuh waktunya menempuh perjalanan menuju
sekolah.mereka berangkat selepas sholat subuh dan sampai ke rumah menjelang
sholat Asyar bahkan lebih. Perjalanan yang sangat menyita waktu, kondisi medan,
dan aktivitas yang padat di sekolah, sebagian besar dari mereka kurang bisa
mengikuti proses pembelajaran. Dapat dibayangkan jika musim hujan tiba,
perjalanan mereka terkendala dan terpaksa sebagian besar tidak bisa datang ke
sekolah.
Anak pelosok lebih memilih resiko dalam
menempuh perjalanan dari pada mengikuti pembelajaran di TKB, tempat kegiatan
belajar yang pengelolaanya di bawah SMP terbuka.Hampir semua TKB bertempat di
sekolah dasar, adapun waktu pembelajarannya setelah selesai anak SD belajar.
Pelaksanaan tatap muka tidak dilaksanakan setiap waktu, anak dibekali
modul-modul untuk belajar mandiri. Para guru terdiri dari guru bina yang setiaptatap
muka memberikan pembelajaran, adapun guru pamong sebagai konsultan bagi siswa
jika terdapat kesulitan-kesulitan dalam belajar. Itulah satu dai sekian banyak yang
menjadi pembeda antara SMP terbuka dengan regular,
sementara itu tuntutan antara SMP terbuka dan regular sama. Sebagai contoh
dalam proses UAS, UKK, dan UN soalnya sama. Penulis berpikir tidak bijaksana
jika kondisi ini terus berlangsung.Sangat diharapkan untuk suatu perubahan para
pemangku kebijakan tidak cukup hanya percaya dengan berbagai laporan tentang
pelaksanaan SMP terbuka, ataukah tutup mata saja walau tahu yang sebenarnya.
Wallahualam.
Banyak hal lain yang harus
dipikirkan tentang kondisi pendidikan siswa yang tinggal jauh di daerah pelosok.
Program SMP Satu Atap merupakan jawaban tepat yang telah digulirkan oleh
pemerintah. Walaupun belum bisa menyentuh semua peserta didik yang tinggal di
daerah pelosok. Hal ini dikarenakan keterbatasan jumlah SMP Satu Atap yang
dibangun dan terlampau jauh jangkauan lokasi tempat tinggal siswa. Sampai saat
ini terdapat dua SMP Satu Atap di wilayah Cisompet. Dengan demikian sebagian
besar mereka dapat diakomodir dan “lepas” dari SMP Terbuka.
Penentuan lokasi suatu lembaga
pendidikan hampir di semua tempat, kurang memperhatikan aspek keterjangkauan.
Di tempat yang jauh dari lokasi penduduk sering ditemui bangunan baru lembaga
pendidikan, kondisi lahannya pun berupa perbukitan dengan kontur yang cukup
kasar. Di daerah Kecamatan Cisompet hal itu bisa kita lihat, terdapat sekolah
baru yang lokasinya cukup jauh dari
pemukiman penduduk, seperti di perbukitan, dan perkebunan. Kontribusi pemikiran
pemerintah setempat dan para pemerhati pendidikan di daerah untuk turut
menentukan lokasi suatu lembaga pendidikan baru sangat diharapkan. Hal ini
untuk menarik minat para peserta didik, yang berdomisili di daerah tersebut.
Banyak contoh kasus karena lokasinya tidak strategis, sekolah itu kurang
diminati sehingga calon peserta didik memilih sekolah lain di luar kecamatan. Dengan
demikian keberadaan sekolah tersebut tidak dapat mengakomodir peserta didik di
daerah sekitarnya.
Jadi bahan pemikiran semua, masih
terjadi ketimpangan layanan pendidikan di wilayah kita. Walaupun standar
minimal sudah diupayakan, tetapi kenyataan di lapangan tetap saja terdapat
jurang pemisah. Belum lagi unsur lain yang mendukung terciptanya jurang pemisah
itu semakin lebar. Banyak harapan yang bisa diandalkan dari anak pelosok untuk
berkontribusi dalam menambah kuantitas siswa dalam suatu sekolah, tentu saja
berkorelasi positif bagi penyelenggaraannya. Ironisnya kontribusi itu kuramg
berdampak baik bagi siswa yang bersangkutan. Tidak ada pihak yang bersalah, hal
ini dikarenakan kondisi telah menyeret ke dalam habit untuk melengkapi lengkapnya kinerja penyelenggara dan pemangku
kebijakan pendidikan. Ke depannya diharapkan tidak hanya kuantitas yang
dianggap penting, tapi kualitasnya juga dapat melengkapi.
Anak-anak pelosok sudah berpikir
satu langkah lebih maju dari mereka yang tinggal dekat ke kota kecamatan.
Tantangan yang besar membuat mereka lebih bisa menjawab persoalan hidup
terutama masalah kesiapan bekerja dan merantau meninggalkan tanah kelahiran
yang selama ini membatasi ruang geraknya. Mereka bekerja di kota atau di luar
wilayah Cisompet menjadi tenaga buruh yang dihargai sesuai dengan ijazah yang
mereka bawa ke tempat kerja.Anak pelosok merupakan potensi yang dimiliki daerah
bahkan mungkin aset bangsa. Mereka tak berkesempatan untuk mengecap pendidikan lebih
dari yang seharusnya. Dengan demikian potensi ini menjadi tidak nampak dan
tidak menunjukan kemampuan yang dimilikinya. Sungguh disayangkan jika kondisi
ini terus-menerus tanpa adanya solusi kreatif yang inovatif dari berbagai
pihak.
Muncul satu pertanyaan, apakah anak
pelosok tidak punya kesempatan lain dan cukup puas dengan kondisi seperti itu?.
Mereka sebenarnya punya peluang untuk lebih maju dari kondisi sekarang. Mengapa
demikian, mereka punya semangat yang sudah tertaman sejak memutuskan untuk melanjutkan
sekolah. Semangat itu yang perlu dipupuk dan dipertahankan. Sikap mandiri yang
mereka punya, keberanian menempuh perjalanan yang cukup beresiko merupakan
tempaan yang sudah mereka jalani selama 3 tahun bahkan 6 tahun ketika mereka
melanjutkan ke jenjang SMA. Kesemuanya itu merupakan modal awal yang sangat
berharga yang tidak dimiliki oleh teman-temannya yang tinggal dekat ke lokasi
sekolah.
Anak pelosok perempuan yang sudah
melewati proses pembelajaran di SMP regular
sebagian besar kembali ke lingkungan keluarganya. Akhirnya mereka seolah tidak
ada pembeda dengan teman sebanyanya yang tidak melanjutkan sekolah. Hal ini
yang harus menjadi bahan pemikiran semua, jangan sampai jadi cemoohan dengan
merendahkan fungsi sekolah. Pemikiran masyarakat kita pada umumnya masih
beranggapan setelah tamat sekolah itu harus bekerja pada perusahaan atau
menjadi pegawai di pemerintahan. Jika anggapan seperti itu masih mengakar pada
masyarakat kita dapat dipastikan tingkat minat melanjutkan sekolah bagi siswa
maupun dorongan orang tua menjadi menurun. Mereka cukup sekolah pada tingkat
pendidikan dasar saja. Setelah itu ikut saudara yang lebih dulu pergi ke kota
untuk bekerja, dan mendapatkan uang. Anggapan masyarakat dengan kondisi
tersebut berhasildan selesailah sudah.
Anak laki-laki yang tidak
berkesempatan pergi ke kota dengan alasan tidak diijinkan oleh orang tuanya
atau tidak ada yang membawa, mereka tinggal di lingkungan keluarga. mereka
membantu pekerjaan orang tuanya menggarap lahan pertanian atau pekerjaan lain
yang selama ini orang tuanya kerjakan. Kenyataan seperti itu banyak yang
menilai gagalnya pendidikan anak tersebut. Memang penilaian masyarakat kita
selama ini kurang bijaksana, sehingga hal ini dapat menjadi faktor penyebab
anak putus sekolah.
Anak pelosok harus diselamatkan
dari asumsi masyarakat ketika pendidikannya terhenti pada satu jenjang tingkat
pendidikan. Pengorbanan mereka lebih besar untuk bersekolah bila dibandingkan
dengan rekan yang lainnya. Perhatian pemerintah juga diharapkan bisa lebih
ditingkatkan untuk menarik minat anak dan orang tuanya dalam mensukseskan WAJAR
dikdas 9 tahun. Lebih banyak pihak atau komponen unsur strategis yang terlibat
dalam proses pendidikan merupakan suatu terobosan baru untuk meningkatkan
kantitas dan kualitas pendidikan di suatu daerah.
Referensi
-
Profil Kecamatan
Cisompet
HENHEN ROHENDI, Guru IPS SMPN 1 Leles, Garut Jabar & Mantan Kepala SMPN 2 Cisompet