
oleh Enang Cuhendi
Dalam beberapa waktu belakangan ini negara kita mengalami musibah darurat asap. Setidaknya di Kalimantan Timur, Riau, Jambi dan Sumatera Selatan masyarakat dipaksa akrab dengan yang namanya asap dari hasil pembakaran hutan dan lahan. Satu fenomena yang tentunya tidak mengasyikan dan pasti pula tidak sehat.
Akibat ulah segelintir orang, sekian juta masyarakat harus menanggung dampaknya. Kondisi udara menjadi tidak baik, aktivitas masyarakat terganggu, penerbangan banyak yang dibatalkan, penyakit ISPA banyak dirasakan masyarakat dan seabreg dampak lainnya.
Masalah kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) ini sudah menjadi bencana nasional. Presiden dan perangkat pemerintah pun dipaksa turun tangan. Satuan militer, kepolisian, pemadam kebakaran, SAR dan berbagai instansi terkait diterjunkan untuk mengatasinya. Sungguh energi dan materi terkuras ke masalah ini. Satu yang disayangkan sampai sekarang aktor intelektual pelaku pembakaran belum tertangkap, mereka lebih licin dari seorang teroris. Kalaupun ada yang ditangkap hanyalah pelaku kelas terinya. wajib hukumnya menelusuri dalang dari semua ini, karena Karhutla ini jelas terindikasi disengaja untuk membuka lahan sawit.
Sebagai seorang anak bangsa yang bergerak di luar instansi terkait tentunya kita tidak bisa terlibat langsung dalam upaya pemadaman Karhutla. Yang bisa kita lakukan hanyalah dukungan berupa doa yang tulus. Walaupun demikian tidak ada larangan kalau kita mau menyuarakannya dalam bentuk lain, seperti puisi misalnya. Ini yang dilakukan rekan-rekan guru IPS dari beberapa daerah seperti terlihat di bawah ini. Setidaknya inilah upaya kami menyuarakan isi hati dn kekesalan.
Sila rekan-rekan simak tulisan rekan-rekan kita berikut ini!
MENGGANTANG ASAP
Oleh: WijayaAku ingin sekolah
Tapi mataku perih, napasku tersengal-sengal
Aku ingin sekolah
Tapi pandanganku semakin buram
Aku ingin sekolah
Tapi kata bu Guru, belajar di rumah dulu
Aku ingin sekolah
Tapi Abang ojeg langgananku pada menghilang
Ya Allah Ya Rabbi
Pekatnya asap selalu terjadi musiman
Lahan-lahan gambut dilalap si jago merah
Membakar dan membunuh binatang di sekitarnya
Tapi kata bapak pejabat di Istana ini musibah
Aku heran, kebakaran hutan dan lahan selalu terjadi
Tapi, tidak berselang lama setelah padam lahan beralih fungsi
Bibit pohon sawit berjajar rapi membentang luas
Orang-orang kecil karena lembaran uang menjadi tumbal
Aku heran, kenapa ini terus berulang terjadi
Ketika di suatu waktu ada sesumbar karhutla sudah tidak ada
Tapi sekolahku diliburkan, ibu-bapakku berdiam di rumah
Tetanggaku yang balita menghembuskan nafas terakhirnya
Aku hanya bisa meringis menahan perih
Tubuhku yang mungil hanya bisa menatap penuh tanya
Masker N95 menjadi kawan setiaku
Bukan lagi buku dan ballpoint yang menemaniku
Kakakku malah paling geram dan dongkol
Sambil menatap HP nya matanya memerah
Jerebu Jakarta tidak separah di sini
Tapi anak muda alay berpartai berisik minta ampun
Tetapi membisu, ketika jerebu menimpa kami di luar Jakarta
Berkendara harus sangat waspada
Jarak pandang terbatas hanya dua meter
Tidak sedikit yang menabrak dan terjatuh
Kata ibuku, tetangga di samping rumah merintih bayi yang dikandungnya tidak bergerak
Kabut asap membuat semua jadi gelap, pengap dan senyap
Banyak rakyat tutup mulut takut kena pasal ITE
Jauh di sana wakil rakyat malah ada yang tutup mulut dan telinga
Jauh lagi di sana yang punya kuasa tutup mata
Asap cepatlah hilang, menjauhlah dariku
Karhutla janganlah kembali terjadi
Pembakar lahan cepatlah tersadar jangan silap karena berlembar-lembar uang
Aku ingin sekolah dan bermain
Menatap hijaunya dedaunan dan segarnya udara alam
Suara burung yang saling bersahutan.
Rangkasbetong, 17092019
SAJAK HUTAN DAN HUJAN
oleh Mugi Lestari (Muaro Jambi)
Aku pernah bertanya kepadamu, sampai kapan
engkau akan berjuang?
Aku ingat sekali, katamu "engkau akan
berjuang hingga tak mampu kau raih bayangku dalam genggamanmu"
Tapi pagi itu engkau benar-benar tak
berjejak, tak mampu ku genggam bahkan tak berbayang.
Aku mencari dalam kabut yang kian sesak.
Dalam abu-abu yang tak berujung hujan.
Dalam badai yang tak kunjung terang
Dalam api yang tak kunjung padam
Sungguh aku merindumu, tarian anggun yang
menetes dari setiap sudut langit-langit
Kelabu dinginmu yang menggantung setiap
setuhan udara
Terbang kesana kemari membawa berkah cinta
antara kita
Aku kembali merindumu, hamornisasi antara
aku dan kamu yang berujung pada senyuman
Aku merindukanmu, menari di bawahmu bersama
sahabat lamaku
Aku merindukan sikap lembutmu, mengelus dan
memanjakan setiap helai hijauku.
Aku merindukanmu yang merangkul dan
memeluk, menjaga setiap jengkal hijauku agar tak menjadi layu
Aku ingat sekali bagaimana janji itu terus
terucap, bahwasanya kita akan terus bersama dan berharmonisasi dalam irama.
Kau ingat tidak, bagaimana kita bermain
bersama kala itu?
Saat aku hijau, rimbun, dan teduh, Engkau
menggantung pada bagian kokohku.
Aku ingat kita bahagia bersama angin yang
semilir, meniupkan kesejukan, mentari yang cerah, dan nyaman yang menyelimuti .
Lekas ingat kawanku, aku merindu setiap
alunan harmonisasi itu.
Lekas datanglah hujan, karena ekologi
tengah sesak menanti kehadiranmu.
Manusia kini begitu beringas
Hanya sibuk menyalahkan ini itu, tapi
tak bisa memperbaiki diri ini baru
menunjuk diri itu.
Wahai sayang lihatlah, manusia kini tengah
sibuk membuat punah dirinya sendiri.
Mugi Lestari (Muaro Jambi:2019)
ASAP PEKAT TANAH PUSAKA
oleh Enang Cuhendi (Jawa Barat)
Kala terbang melintas buana
Tak lagi bisa kunikmati paras ayumu
Tak juga kulihat senyum manismu
Asap pekat telah menutup tanah pusaka
Pedih hati serasa teriris
Panas membara dalam dada
Ingin rasanya kuhantam sang angkara
Kutusuk dengan keris si ginjai
Kuracun dengan ramuan tanah Jangkat
Kulempar ke puncak Kerinci
Kurebus dengan air Batang Hari
Kuhantam dengan bongkahan bulian
Tapi sungguh aku tak kuasa
Terbentur kuasa sang maha digdaya
Yang berlindung dibalik api sang naga
yang akan membuat ibu pertiwi bercucur air mata.
EC, Bandung, 09092019
MEMBARA
oleh Enang Cuhendi (Jawa Barat)
Terusik nurani
Terguncang rasa
Merah membara
Memanggang tanah pusaka
Aku terpana
Tanpa sepatah kata
Kau pun tertunduk
Memendam geram
Bersama sejuta benci
Ingin ku beraksi
Tapi gelap dan sesak
Aku tertunduk dalam amarah
EC, Bandung, 09092019
GUNDAH
oleh Noorsyahrida (Martapura)
Panas menyerang raga
Lelah menyerang asa
Debu bertebaran di mana-mana
Air pun mulai mengeruh
Bangkai membusuk
Bau menyebar
Tak ada lagi pinta
Marah
Benci
Dendam
Kepada siapa?
Semua tunduk
Semua patuh dengan terpaksa
Tak ada yang bisa dipercaya
Semua saling sikut
Saling tuding
Saling serang
Tuk selamatkan diri sendiri
Aku takut Tuhan
Tuhan bantu aku
Tuntun aku
Ya Rabb, Yang Maha Agung
Lepaskan aku dari....
Gundahku gelisahku dan cemasku
Engkaulah Penolong ku
API DALAM SEKAM
oleh Jumiati (Tanjung Jabung Jambi)
Selalu
Aku diam menunggu
Meski celamu menjirat kesabaranku
Masih bersimpuh resah asaku
Pasti
Tersimpan lelah dan remuk hati
Merangkai tawa mengiris nadi
Dalam sekam berisi api
Tentu
Ditanganmu ada nyala gaharu
Menebarkan aroma luka dalam kalbu
Langkahmu tersisa hanya satu
Nanti
Bila kakimu telah sampai
Tanganmu riuh menggapai
Aku meninggalkanmu dalam api
Jumiati, (Tanjung Jabung Jambi)