oleh Enang Cuhendi
“Sejarah
bukan seni bernostalgia, tapi sejarah adalah ibrah, pelajaran, yang bisa kita
tarik ke masa sekarang, untuk mempersiapkan masa depan yang lebih baik.”
(Ahmad Puadi, Negeri Lima Menara.)
Selamat datang di Kawasan
Konservasi Stone Garden
(Sumber:
Koleksi Pribadi Penulis)
Senin 19 Desember 2018, sekeluar dari pintu tol Padalarang mobil melaju
kearah Cianjur. Sekira lima kilometer dari Situ Ciburuy Padalarang setelah
melewati perbukitan kapur mobil berbelok ke kanan keluar dari jalan raya
melewati jalan desa yang sedikit berdebu. Beberapa kali mobil dipaksa menepi
karena berpapasan dengan truk-truk tua pengangkut kapur. Akhirnya kami pun
sampai di lokasi. “Stone Garden” atau taman batu namanya. Stone Garden, adalah
sebutan untuk hamparan tanah seluas dua hektar yang diisi oleh formasi batuan
tak beraturan yang indah dan membentuk taman alam.
Stone Garden merupakan salah satu dari dua target utama perjalanan
penulis bersama MGMP IPS Kabupaten Garut. Target lainnya adalah Guha Pawon.
Rabu, 19 Desember 2018 adalah hari yang kami tetapkan untuk mengeksplorasi dua
lokasi ini.
Berada di Kawasan Karst Citatah, Kampung Giri Mulya, Desa Gunung
Masigit, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat (KBB), Stone Garden memang
didominasi oleh batuan. Seluas mata memandang hamparan yang terlihat hanyalah
formasi batuan-batuan yang indah dan unik. Yang menjadi unik batuan di sini
bukanlah jenis batuan biasa seperti yang umumnya ada di wilayah
pegunungan. Jenis batuan di kawasan ini
merupakan jenis karst atau batu gamping, yaitu batuan endapan yang terbentuk di
dasar lautan dari tumpukan cangkang binatang laut dalam kurun waktu jutaan
tahun.
Mengapa ada batuan karst di sini padahal wilayah ini berupa pegunungan
dengan ketinggian puncak berada di 908 meter di atas permukaan laut? Ya, batu
yang ada di lokasi Goepark Stone Garden memang betu-betul kumpulan karst atau
batu karang. Dahulu daerah karst itu merupakan dasar laut dangkal. Batuan kapur
yang ada dibentuk oleh terumbu karang di dasar laut. Melalui proses geologi
tumpukan batuan endapan ini terangkat ke permukaan laut dan membentuk dataran
atau pegunungan batu gamping seiring mengeringnya laut dangkal itu. Pembentukan Stone Garden diperkirakan terjadi
pada zaman Miosen, 20-30 juta tahun silam (KRCB, 2006).
Kawasan Karst Citatah termasuk warisan tertua di Pulau Jawa. Terbentang
sepanjang enam kilometer dari mulai Tagog Apu hingga Selatan Rajamandala. Ciri
utama wilayah ini sebagian besar tanahnya berupa batuan kapur. Masyarakat
sekitar umumnya memanfaatkan sumber daya alam ini untuk berbagai kebutuhan dari
mulai bahan bangunan sampai hiasan rumah.
Karst memang memiliki beberapa nilai penting. Dilihat dari sisi ilmiah
keberadaan karst bermanfaat untuk pengembangan dan apliksi berbagai jenis ilmu
pengetahuan, baik yang berbasis kebumian, biologi, kehutanan, pertanian,
arkeologi, sosial budaya maupun hukum. Secara ekonomi karst berfungsi sebagai
sebagai sumberdaya hayati maupun nirhayati yang bermanfaat di bidang
pertambangan, kehutanan, pertanian, pengelolaan air, pariwisata dan bio
ekonomi. Karst juga merupakan potensi alam dengan beragam aspek keindahan,
rekreasi, pendidikan, sosio-ekonomi dan sosio-budaya setempat.
Berada di Stone Garden mata ini dimanjakan dengan pemandangan indah.
Sekeliling terlihat formasi batuan yang terentuk secara alami tanpa campur
tangan manusia. Batuan tertinggi oleh pengelola dinamakan Puncak Panyawangan.
Dari Puncak Panyawangan ketika pandangan di arahkan ke timur nampak
jelas sebuah cekungan besar seperti mangkuk terhampar dari Cipatat sampai ke
arah Bandung. Keberadaan Stone Garden seolah membuktikan bahwa dulunya dataran
tinggi Bandung merupakan sebuah laut dangkal atau danau besar. Imajinasi ini
pun bergerak liar ke masa jutaan tahun yang lalu. Membayangkan kawasan yang
dikenal dengan sebutan Bandung merupakan daratan luas yang berupa dasar danau.
Puncak Panyawangan di Stone Garden
(Sumber: Koleksi Pribadi)
Danau Bandung Purba atau dalam istilah geologi disebut sebagai Bandung
Basin, diperkirakan terbentuk ratusan ribu, bahkan ada yang menyebut jutaan
tahun lalu. Danau yang memanjang sekira 60 Kilometer terbentang mulai dari
kawasan Padalarang di barat sampai Nagreg di timur dan dan 40 kilometer dari
Lembang di utara sampai Kawasan Bandung Selatan. Garis tinggi 725 meter yang
melewati Padalarang, Bandung Utara, Cicalengka, Nagreg, dan Banjaran sampai ke
sebelah barat Cililin merupakan garis tepi danau.
Di banyak tempat di sekitar danau, wilayah di atas ketingian 725 meter,
banyak ditemukan hasil-hasil kebudayaan yang berupa flakes dari bahan obsidian. Flakes
tersebut umumnya berupa microlith atau batuan kecil. Daerah penghasil batuan
obsidian terdapat di Nagreg dan Garut Utara. Menurut Soekmono (1973: 46-47) flakes dari sekitar Danau Bandung ini
menjadi inti dari flakes culture dan diperkirakan berasal dari masa
mesolithikum. Sedangkan mengenai pecahan tembikar dan perunggu yang juga banyak
ditemukan menunjukkan bahwa sesudah jaman mesolithikum berakhir, kebudayaan di
sana berlangsung terus dan mengikuti perkembangan berikutnya menjadi
neolithikum dan jaman perunggu.
Di atasnya ditutupi oleh air danau dengan berbagai jenis ikan berenang
menikmati alaminya kondisi air saat itu. Sebagian sisa fosil ikan yang pernah
hidup di danau ini ditemukan di daratan Kota Bandung dan disimpan di Museum
Geologi Bandung.
Bagaimana proses terbentuknya Danau Bandung? Banyak teori tentang hal
ini. Seorang geolog Belanda yang cukup konsen mempelajari karakter dan
stratigrafi bumi Indonesia, Reinout Willem van Bemmelen, dalam bukunya The
Geology of Indonesia, memberikan pemaparan bahwa sejarah geologi Bandung
dapat ditelusuri hingga sekitar 20 juta tahun yang lalu. Berdasarkan hasil
pengamatan terhadap bentuk bantuan dan morfologi gunung-gunung berapi di
sekitar Bandung ia berpendapat bahwa Danau Bandung Purba terbentuk karena
Sungai Citarum purba yang tersumbat. Pembendungan ini disebabkan oleh
pengaliran debu dari letusan Gunung Tangkuban Parahu yang sebelumnya didahului
oleh letusan dahsyat dari Gunung Sunda Purba.
Kurang lebih sekitar 14 juta-4 juta tahun yang lalu, Van Bemmelen
memperkirakan dasar laut mulai terangkat secara tektonik menjadi daratan dan
daerah pegunungan. Selanjutnya serangkaian aktivitas vulkanik lalu menyebabkan
lahirnya bukit-bukit yang mengarah ke bagian utara selatan; antara Bandung dan
Cimahi.
Dua juta tahun yang lalu aktivitas vulkanologi ini sepenuhnya bergeser
ke utara dan membentuk Gunung Sunda, gunung api purba yang kemudian meletus
membentuk kaldera, pada gilirannya memunculkan Gunung Tangkuban Parahu.
Seakan memperkuat pendapat Van Bemmelen, Sutikno Bronto bersama Udi
Hartono, pada tahun 2006 mengkaji Potensi Sumber Daya Geologi di Daerah
Cekungan Bandung, juga memperkirakan bahwa Cekungan Bandung merupakan sebuah
kaldera.
Beberapa peneliti juga menemukan di antara tanah purba atau batuan
sedimen terbawah Cekungan Bandung terdapat lapisan abu gunung api. Temuan yang
kerap dihubungkan dengan kegiatan gunung api dan mungkin mengawali pembentukan
Danau Bandung.
Tahun 1992, Tim peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi
(Indonesia) yang dipimpin oleh Dam, M. A. C. dan Suparan mengungkapkan hal yang
berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya berkenaan dengan sejarah geologi
Bandung. Menggunakan metode penanggalan radiometri dengan isotop carbon C-14
dan metode pengamatan bentuk serta singkapan morfologi, para peneliti ini
bahkan telah menjumpai umur yang jauh lebih tua untuk beberapa kejadian dari
yang diperkirakan sebelumnya.
Seiring waktu air danau pun surut dan mengering. Di atas kawasan Bandung
tidak ada lagi wilayah yang digenangi air danau. Berdasarkan hasil
penelitian terakhir air Danau Bandung surut ke arah Barat tepatnya di sekitar
Cukang Rahong perbatasan Kabupaten Bandung Barat (KBB) dengan Rajamandala.
Bagian Timur Curug Jompong yang sekarang dibuat saluran oleh Pemda KBB.
Sebelumnya ada anggapan bahwa danau purba ini jebol di Sanghyang Tikoro, akan tetapi
pendapat ini diragukan mengingat ada perbedaan ketinggian yang nyata.
Bagaimana Danau Bandung Purba ini kemudian terkuras habis? Konon-masih
banyak perdebatan untuk alasan pasti hilangnya air dari danau itu disebabkan
terbukanya wilayah-wilayah pembendung. Ada juga yang berpendapat surutnya air
Danau Bandung Purba karena proses pendangkalan akibat material-material yang
masuk ke dalam danau yang kemudian mengendap.
Setelah air surut, daratan bekas danau Bandung berubah menjadi kawasan
yang subur. Hutan yang lebat tumbuh menyelimuti kawasan ini. Beraneka binatang
buas, mulai dari monyet, rusa, badak sampai harimau atau maung hidup di sini.
Ketika manusia mulai muncul menghuni Bumi, wilayah Bandung pun mulai
dihuni manusia. Koesoemadinata, geolog dari ITB (Institut Teknologi Bandung)
yang mengkaji asal-usul manusia Sunda, lebih jauh mengatakan bahwa
daerah-daerah di sekitar Danau Bandung Purba kemungkinan sudah berpenghuni. Pendapatnya
itu dibuktikan dengan temuan dari sisa-sisa aktivitas manusia masa lampau, salah
satu yang cukup terkenal adalah Situs Gua Pawon.
Penemuan fosil manusia purba di Guha (Goa) Pawon yang berada di Krast
Citatah ketinggian di atas 700 mpdpl menjadi bukti keberadaan kehidupan manusia purba penghuni
wilayah Bandung Purba. Fosil diperkirakan berusia antara 7.000 sampai dengan
10,000 tahun yang lalu. Bahkan ada yang beranggapan bahwa manusia Guha Pawon
menjadi saksi keberadaan Danau Bandung. Temuan ini sekurang-kurangnya dapat
memberi kita gambaran bahwa saat Bandung masih terandam air, sudah ada yang
menyaksikan; nenek moyang kita mungkin sesekali berenang di danau ini.
Semakin lama Bandung kuno semakin berkembang. Kawasan hutan berubah
menjadi perkampungan dan kemudian menjadi kota dengan beberapa kota lain
mengelilinginya. Bandung berkembang menjadi Kabupaten Bandung, Kota Bandung,
Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat.
Sejenak berpikir seandainya kawasan wisata yang pertama kali ditemukan
oleh Tim Geologi ITB yang tergabung dalam Tim Riset Ceungan Bandung (TRCB)
dikelola dengan profesional bukan mustahil akan lebih terkenal. Kelompok Sadar
Wisata (Pokdarwis) Pasir Pawon harus mampu menjaga image objek wisata ini dengan baik.
Lamunan pun terjaga ketika seorang teman mengajak pulang karena hari
semakin siang. Sebelum pamit ada sedikit saran, agar tidak kepanasan dan bisa
menikmati udara segar sangat disarankan untuk datang ke lokasi ini di pagi
hari, dijamin pasti puas.
(Tulisan ini dikutip dari buku Enang Cuhendi, (2019), Bukan Catatan Perjalanan Biasa, Guneman, Bandung)