
Oleh Enang Cuhendi
Melihat
namanya tidak terlalu banyak orang mengenalnya. Dibandingkan W.R.Supratman yang
menjadi rekan seangkatannya, nama Sugondo Djojopuspito hanya dikenal oleh
segelintir orang. Sejarah pun tidak banyak mengupas sosok ini, padahal salah
satu momen bersejarah yang dia pimpin telah berkontribusi besar terhadap
sejarah Indonesia dan diperingati setiap tahun.
Soempah
Pemoeda atau Sumpah Pemuda merupakan momentum paling bersejarah dalam
perjalanan bangsa Indonesia. Dengan ikrar bersama ini para pemuda yang berasal
dari berbagai pelosok negeri dan beraneka suku menyatakan tekad bersama untuk
satu kesatuan, yaitu Indonesia. Mereka sepakat menyatakan satu nusa, satu
bangsa dan menjunjung bahasa persatuan, yaitu Indonesia. Ini memperbaiki tekad
sebelumnya yang lebih didominasi oleh unsur kedaerahan, kesukuan dan keagamaan
masing-masing.
Ikrar
para pemuda tersebut mengemuka pada saat Kongres Pemuda (ejaan van Ophuysen: Congres Pemoeda) Indonesia II, 27-28
Oktober 1928. Pada saat itu para pemuda yang tergabung dalam organisasi
kedaerahan, seperti Jong Java (Pemuda Jawa), Jong ambon (Pemuda Ambon), Jong
Celebes (Pemuda Sulawesi), Sekar Roekoen (Pemuda Sunda), Jong Soematranen Bond,
Jong Bataks Bond, Jong Islamieten Bond, Pemoeda Kaoem Betawi, Pemoeda Indonesia
dan PPPI (Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia) dan lain-lain, berkumpul di Jakarta.
Penyelenggaraan kongres pemuda hari pertama dilaksanakan di gedung Katholikee
jongelingen Bond (Gedung Pemuda Katolik). Hari kedua di gedung Oost Java
(sekarang di Medan Merdeka Utara Nomor 14).
Keberhasilan
kongres tersebut tidak lepas dari sosok pimpinan sidang yang bernama Soegondo
Djojopoespito. Siapa sebenarnya Sugondo Djojopuspito? Pria kelahiran Tuban,
Jawa Timur, 22 Februari 1905 itu sukses memimpin jalannya kongres hingga
menghasilkan satu karya bersejarah, yaitu Ikrar Pemuda Indonesia atau dikenal
sebagai Sumpah Pemuda. Dalam laman Wipedia
disebutkan bahwa bapak Sugondo bernama Kromosardjono yang merupakan seorang
Penghulu dan Mantri Juru Tulis Desa di kota Tuban, Jawa Timur. Ketika Soegondo
masih kecil, ibunda Sugondo sakit-sakitan dan meninggal dunia, kemudian Bapak
Kromosardjono kawin lagi dan pindah ke Brebes Jawa Tengah menjabat sebagai
lurah di sana.
Masa
kecil Sugondo dihasbiskan di Tuban. Pendidikan HIS diselesaikan di Tuban tahun
1911-1918. Selanjutnya pindah ke Surabaya untuk meneruskan ke MULO selama 3
tahun dari 1919 – 1922. Saat itu ia berada dalam pengasuhan pamannya,
Hadisewojo, seorang collecteur wilayah Blora. Selama di Surabaya oleh pamanya
ia dititipkan mondok di rumah HOS Cokroaminoto bersama Soekarno. Setelah lulus
MULO Sugondo melanjutkan sekolah ke AMS afdeling B di Yogyakarta tahun 1922-1925. Ketika di
Yogjakarta ini oleh pamannya melalui HOS Cokroaminoto ia dititipkan mondok di
rumah Ki Hadjar Dewantara di Lempoejangan Stationweg 28 Jogjakarta (dulu Jl.
Tanjung, sekarang Jl. Gajah Mada).
Kembali
atas peran besar pamannya Sugondo dibiayai untuk melanjutkan kuliah dan mendapat
beasiswa di Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta - cikal
bakal Fakultas Hukum Universitas Indonesia sekarang) tahun 1925. Karena
beasiswanya dicabut akibat kegiatan politiknya dan juga pamannya yang meninggal
dunia, kuliah di RHS hanya mencapai lulus tingkat Candidat Satu (C1) (sekarang
setingkat dengan ijazah D2).
Keterlibatan
Sugondo di bidang politik bermula ketika semua orang ikut dalam organisasi
pemuda, ia justru bergabung dalam PPI (Persatuan Pemuda Indonesia) dan tidak
masuk dalam Jong Java. Kemudian saat Kongres Pemuda I, 1926, Sugondo ikut terlibat
sebagai peserta dalam kegiatan tersebut. Bahkan saat Kongres Pemuda II Sugondo
terpilih menjadi Ketua Kongres. Hal ini terjadi karena ia adalah anggota PPI yang
merupakan wadah pemuda independen pada waktu itu dan bukan berdasarkan
kesukuan. Sugondo pun banyak berhubungan dengan tokoh-tokoh pergerakan pada
masa itu, seperti Soekarno, Muh. Hatta, Muh. Yamin, Ki Hadjar Dewantara dan H.O.S.
Tjokroaminoto.
Pada
masa pergerakan nasional selain aktif di partai politik, Sugondo juga aktif mengabdi
di dunia pendidikan. Ia pernah menjadi Kepala Sekolah Perguruan Rakyat di Gang
Kenari No. 15 Salemba yang didirikannya bersama Mr. Sunario Sastrowardoyo pada 11
Desember 1928. Pada 1930 ia diminta oleh Ki Hadjar Dewantara untuk menjadi guru
Perguruan Taman Siswa Bandung. Kemudan 1932, ia diangkat menjadi Kepala di sekolah
tersebut. Saat di Bandung inilah ia mulai menjadi simpatisan PNI (Perserikatan
Nasional Indonesia) pimpinan Sukarno. Tahun 1933 menikah dengan penulis
Suwarsih Djojopuspito di Cibadak dan isterinya ikut membantu mengajar di
Perguruan Tamansiswa Bandung. Kakak iparnya adalah Mr. A.K.Pringgodigdo, suami
dari kakak isterinya (Ny. Suwarni).
Ketika PNI pimpinan Ir. Soekarno pecah
dua, menjadi Partindo (Partai Inonesia) pimpinan Mr.
Sartono dan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI)
pimpinan Drs. Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir,
Sugondo memilih masuk dalam Pendidikan Nasional Indonesia (PNI)
pimpinan Syahrir. Keterlibatannya di PNI mengundang kecurigaan pihak Pemerintah
Hindia Belanda sehingga Sugondo giliran ditangkap pada 1934. Akan tetapi karena
pemerintah Hindia Belanda tidak bisa membuktikan bahwa ia anggauta partai, akhirnya
dibebaskan dan hanya mendapat larangan mengajar (Onderwijs Verbod) oleh
Pemerintah Hindia Belanda. Pada 1935 larangan mengajar dicabut. Setelah itu ia
pindah ke Bogor dan mendirikan Sekolah Loka Siswa, tetapi kemudian ditutup
karena sepi murid.
Setelah 1936 perjalanan hidup Sugondo
ditandai dengan berpindah-pindah tempat tinggal. Dari Bogor pindah ke Semarang,
berikutnya ke Surabaya, ke Bandung dan kemudian ke Batavia. Pada kurun 1936 sampai
dengan 1941 selain bekerja sebagai guru, Sugondo juga aktif menjadi wartawan
di beberapa media, salah satunya mendapat kepercayaan dari Mr. Soemanang untuk
memimpin Kantor Berita Antara pada 1941.
Pada masa penjajahan Jepang, Sugondo bekerja sebagai
pegawai Shihabu (Kepenjaraan). Status sebagai pegawai Shihabu didapat atas
bantuan Mr. Notosoesanto sebagai kawan yang pernah bersama kuliah di RH Batavia.
Pada masa berikutnya Mr. Notosoetanto tercatat sebagai salah seorang ahli hukum
dan menteri kehakiman RI.
Pada masa Revolusi Fisik, 1945-1950, Sugondo aktif dalam Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia
Pusat (BP-KNIP) yang beranggotakan 28 orang. Kemudian pada saat terbentuknya Republik
Indonesia Serikat (RIS), jabatan di BP-KNIP digantikan oleh Djohan Sjahroezah,
sementara Soegondo sendiri masuk dalam kabinet sebagai Menteri Pembangunan
Masyarakat Negara Republik Indonesia di bawah acting Presiden Mr. Assaat.
Setelah tahun 1950, dalam usianya yang masih relatif muda
(masih 46 tahun) Sugondo memilih pensiun dari segala jabatan dan perintis
kemerdekaan.Waktunya dihabiskan untuk membaca buku dan sering bertemu dengan
rekan seperjuangan dalam dan luar negeri. Pernah pada 1952 Presiden Soekarno memintanya
datang ke Jakarta. Namun ia tidak datang. Saat itu presiden bertanya kepada Suwarsih Djojopuspito, isteri Sugondo, yang waktu itu datang di istana mengantarkan kakaknya (Ny. Soewarni
isteri Mr. A.K. Pringgodigdo, sekretaris kabinet), “Waar is Mas Gondo, laat hem maar bij mij even komen, ik zal een positie
voor hem geven (Di mana Mas Gondo, suruh dia menemui saya, akan saya beri
jabatan untuk dia)”. Ketika disampaikan pada Soegondo, ia menolak jabatan tersebut.
Sugondo Djojopuspito wafat pada 1978.
Jenazahnya dimakamkan di Pemakamam Keluarga Besar Tamansiswa Taman Wijayabrata
di Celeban, Umbulharjo - Yogyakarta. Setelah wafat berbagai penghargaan
diberikan kepadanya. Pada 1978 Pemerintah Republik Indonesia memberikan Tanda
Kehormatan Republik Indonesia: berupa Bintang Jasa Utama atas jasanya dalam
memimpin Sumpah Pemuda, maka oleh. Kemudian pada 1992 pemerintah RI juga
menyematkan Satya Lencana Perintis Kemerdekaan. Untuk mengabadikan namanya pihak
Kemenpora RI memberi nama Wisma Soegondo Djojopoespito Cibubur pada Gedung
Pertemuan Pemuda milik PP-PON (Pusat Pemberdayaan Pemuda dan Olahraga Nasional)
yang dibangun oleh Kemenpora dan diresmikan oleh Menpora pada tanggal 18 Juli
2012. Satu yang mengganjal, sampai saat ini Sugondo Djojopuspito belum diakui
Sebagai Pahlawan Nasional padahal Kemenpora sudah mengusungnya sejak 2012.
Gelar Pahlawan Nasional rasanya layak disandang Soegondo karena setiap tahun
peristiwa Sumpah Pemuda 1928 selalu diperingati secara resmi.
Sugondo Djojopuspito beristrikan Suwarsih Djojopuspito,
(1912-1977), seorang wanita Sunda yang menulis novel dalam 3 bahasa (Sunda,
Belanda, Indonesia). Saat wafat meninggalkan tiga orang anak, yaitu Sunartini
Djanan Chudori, S.H., Sunarindrati Tjahyono, SH, dan Ir. Sunaryo Joyopuspito,
M.Eng.
Sumber
Bacaan
Drs.
M. Soenyata Kartadarmadja: Sugondo
Djojopuspito, Hasil Karya dan Pengabdiannya, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Proyek Dokumentasi Sejarah Nasional 1982/1983
Sunaryo
Joyopuspito: Soegondo Djojopoespito,
Tokoh Pemuda 1928, Museum Sumpah Pemuda 2011
https://id.wikipedia.org/wiki/Sugondo_Djojopuspito