oleh Enang Cuhendi
“Robek-robeklah badanku, potong-potonglah jasad ini, tetapi jiwaku
dilindungi benteng merah putih. Akan tetap hidup, tetap menuntut bela, siapapun
lawan yang aku hadapi.”
-Jenderal Soedirman-
Siang itu udara lumayan terik khas kota ini yang memang berada
diketinggian hanya 5 meter di atas permukaan laut. Walau begitu kupaksa kaki
tuk terus melangkah. Tekadku hanya satu, sesampainya di Kota Pahlawan ini aku
harus menginjakan kaki di jembatan itu. Sebuah jembatan yang mempunyai nilai
historis tersendiri bagi kota dan juga negeri ini.
Kata orang yang kutanya tadi, setelah berjalan melewati sebuah taman
besar yang diberinama “Taman Sejarah”, maka langkah kita berikutnya akan sampai
di tempat yang dicari, yaitu Jembatan Merah yang sangat terkenal di Surabaya.
Setelah menyeberang jalan terlihat sebuah taman besar, dengan hiasan bambu
runcing dari bahan seperti fiber berjejer di depannya. Jelas terlihat sebuah
tulisan besar, “Taman Sejarah”.
Taman Sejarah, Surabaya |
Langkah pun kupercepat. Aku yakin jembatan
yang ada di samping taman adalah tempat yang kutuju. Dari jauh memang mulai
terlihat jelas sebuah jembatan yang tidak terlalu besar dengan besi penghalang
sungai di sampingnya yang berwarna merah. Aku berdiri di salah satu ujung
jembatan yang tidak jauh dari taman. “Alhamdulillah akhirnya aku sampai juga di
tempat bersejarah ini.” ucapku dalam hati.
Dari segi fisik sepintas Jembatan Merah memang tidak begitu indah. Lebih
indah Jembatan Pasupati di Bandung atau Gentala Arasy di Jambi. Tapi sisi yang
tidak dimiliki kedua jembatan tersebut adalah nilai historis yang tinggi
seperti, Jembatan Merah. Di sini ada nilai sejarah yang lama terkait sejarah
Kota Surabaya. Di sini pun ada nilai patriotisme yang sangat tinggi dari para Arek Suroboyo di masa lalu.
Ingatanku melayang ke masa ratusan tahun yang lalu. Saat Sultan Paku Buwono
II dari Mataram bersepakat dengan VOC pada 11 November 1743. Dalam kesepakatan
tersebut disebutkan bahwa beberapa daerah pantai utara, termasuk Surabaya,
diserahkan ke VOC, artinya sejak saat itu Surabaya berada di bawah kolonialisme
Belanda.
Belanda membangun Surabaya menjadi sebuah kawasan komersial. Untuk
mempercepat pembangunan kota dibangunlah sebuah jembatan kayu yang
menghubungkan Kali Mas (eks sungai Soerabaja) dengan Gedung Residen
Surabaya. Pada
sekira 1890-an jembatan yang menghubungkan jalan Rajawali dan Kembang Jepun di
sisi utara Surabaya saat ini mengalami perubahan yang luar biasa secara fisik.
Hal ini ditandai dengan diubahnya pagar pembatas dari kayu menjadi besi dan
dilakukan pengecatan. Pengecatan diberikan dengan memberikan warna merah
sebagai penghias jembatan, sehingga masyarakat mengenalnya sebagai Jembatan
Merah atau Roode Brug.
Di Jembatan Merah |
Pembangunan kota di bawah kendali pemerintah kolonial Belanda terus berkembang. Jembatan Merah akhirnya menjadi fasilitator yang sangat penting pada era itu. Di
sekitar jembatan beberapa bangunan penting mulai bermunculan. Bahkan beberapa
bangunan peninggalan Belanda tersebut masih difungsikan sampai saat ini.
Di masa lalu Jembatan Merah juga pernah menjadi saksi hidup
dari perjuangan Bangsa Indonesia, khususnya pahlawan-pahlawan Surabaya yang
berjuang melawan kolonialisme Belanda. Dengan semangat patriotisme yang tinggi
Arek-arek Suroboyo (Pemuda Surabaya) bertempur mengusir penjajah dari Bumi
Surabaya. Walau memang perjuangan tersebut tidak selalu berhasil dengan baik,
tetapi semangat patriotisme para pemuda ini sangat patut diapresiasi. Jembatan
Merah menjadi saksi atas semua semangat, pengorbanan dan cucuran darah Arek
Suroboyo.
Setiap kali kita mengenang peristiwa Pertempuran 10
November 1945 maka Jembatan Merah tampil menjadi saksi bisu atas peristiwa
tersebut. Jembatan Merah menjadi saksi pertempuran antara pemuda Surabaya
dengan pasukan Sekutu yang berakhir dengan kematian Brigjen A.W.S. Mallaby
sebagai komandan Brigade 49/Divisi India ke-23 tentara
Sekutu. Di sini pula gugur para pejuang Surabaya dalam
menegakkan harga diri dan kemerdekaan bangsa ini dari tangan kaum penjajah,
khususnya Sekutu saat itu. Gema Takbir dan kata-kata semangat yang digelorakan
Bung Tomo dari corong radio disambut dengan heroisme yang luar biasa dari Arek
Suroboyo. Ujung senapan dan meriam serta tank-tank Sekutu tidak menyurutkan
semangat mereka untuk terus melawan walau nyawa taruhannya.
Kenanganku akan masa lalu Jembatan Merah tersadarkan
ketika seorang abang becak tua menawariku untuk naik becaknya. Tentunya kujawab
tidak, karena aku masih ingin menyusuri
daerah sekitar Jembatan Merah.
Seperti diketahui saat ini Jembatan Merah
merupakan salah satu pusat perniagaan di Surabaya. Di Jalan Rajawali berdiri
berbagai gedung perkantoran, perbankan dan lain-lain. Juga Hotel Ibis Surabaya
berdiri kokoh di jalan tersebut. Sejak beberapa tahun lalu, berdiri Jembatan
Merah Plasa dan di depannya menjadi terminal bayangan kendaraan angkutan kota,
dan bus kota juga tidak jauh dari jembatan merah ada Makam Sunan Ampel.
Sebelah timur jembatan merah ada jalan Kembang Jepun.
Jalan ini merupakan pusat perdagangan, yang oleh Pemerintah Kota Surabaya
dijadikan kawasan pecinan. Di lokasi ini menurut penuturan mulai pagi hingga
sore, terlihat sangat ramai bahkan katanya seringkali macet. Untuk menghidupkan
kawasan Kembang Jepun, sejak tahun 2003 lalu disulap menjadi pusat makanan
Surabaya, atau yang dikenal dengan Kya-Kya. Sepanjang jalan yang berjarak
sekitar 300 meter itu, digarap bak kampung pecinan.Wisata Indonesia Surga
Dunia.
Bagiku
jembatan merah adalah sebuah kenangan yang takan terlupakan. Sebagaimana Gesang
melantunkan dalam lagunya: “biar jembatan merah seandainya patah akupun
bersumpah akan kunanti dia di sini bertemu lagi.” Bertemu kawan-kawan FKGIPS Nasional dari
Surabaya dan Jawa Timur.
(Catatan dari Rakernas FKGIPS Nasional di Surabaya, Pebruari 2019)