oleh Enang Cuhendi
“Kita tunjukkan bahwa kita adalah
benar-benar orang yang ingin merdeka... lebih baik kita hancur lebur daripada tidak
merdeka.”
-Bung Tomo-
Senin,
3 Februari 2019, hujan baru saja reda, azan magrib mulai terdengar bersahutan
dari pengeras suara masjid-masjid
terdekat. Setapak demi setapak langkah kuayun menuju gerbang Tugu Pahlawan
Surabaya yang terletak di pusat Kota Surabaya.
Tugu
Pahlawan berada di kawasan “kota lama”, lebih tepatnya terletak di Jl.
Pahlawan, kelurahan Alun-alun Contong, Kecamatan Bubutan, Surabaya, Jawa
Timur. Tugu ini berada di tengah-tengah antara Jalan Pahlawan, Bubutan,
Tembaan, dan Jalan Kebon Rojo. Tempatnya memang strategis dan mudah dijangkau.
Di seberangnya terdapat kantor Gubernur
Jawa Timur. Aneka tumbuhan dan bunga-bunga menghiasi kawasan ini sehingga
terlhat asri. Aneka tumbuhan dan bunga-bunga yang ada di kawasan ini menjadi
daya tarik bagi masyarakat Surabaya atau wisatawan yang ingin sejenak beristirahat atau
menghabiskan suasana pagi dan sore hari dengan sekadar duduk-duduk sambil
melihat bangunan-bangunan yang mengingatkan perjuangan masyarakat Surabaya.
Ketika
memasuki gerbang pertama sebelum area parkir terlihat ada tiga orang petugas
keamanan sedang bertugas. Salah seorangnya berbadan tegap. Akan tetapi, di balik
badannya yang tegap ternyata tersimpan sikap ramah khas Jawa Timur-an. Saat
kutanya apakah kami masih bisa berkunjung, petugas yang tidak sempat ditanya
namanya tersebt menjawab bahwa pengunjung masih boleh masuk sampai pukul 22.00,
kecuali untuk musium memang sudah tutup pada pukul 17.00. “Pengunjung ke tugu
ini tidak dikenakan tiket alias gratis, kecuali ke museum ada tiket dua ribu
rupiah.” jelasnya.
Halaman
Tugu Pahlawan ini cukup luas. Di dalamnya ada sebuah museum yang
dinamakan Museum Sepuluh November. Selain itu, ada juga beberapa patung
pahlawan, seperti Gubernur Soerjo, Doel Arnowo, dan tentu saja Bung Tomo.
Karena
faktor hujan yang sangat deras perjalanan kami dari tempat kegiatan FKGIPS PGRI
Nasional di LPMP Jawa Timur, Wonokromo
ke Tugu Pahlawan memang sedikit terhambat. Inginnya kami bisa berkunjung lebih
siang, tetapi kondisi cuaca berkata lain. Walau begitu hal tersebut bukan
masalah berarti yang penting salah satu target kunjungan historis yang telah
kurencanakan bisa terpenuhi.
Setelah
diizinkan masuk kaki inipun melangkah
menuju gerbang utama. Di sebelah kiri bagian
luar terlihat ada bangunan sekretariat dan dinding-dinding dengan relief-relief
sejarah menggambarkan serangkaian
peristiwa yang terjadi di kota ini pada masa silam, di antaranya ada gambaran
dari pertempuran di Jembatan Merah, peranan ulama dalam pertahankan bangsa, peristiwa
penyobekan bendera Belanda di Hotel Yamato, pendaratan tentara sekutu di
Dermaga Ujung, dan beberapa peristiwa penting lainnya.
Setelah
habis dinding relief, di sebelah kanan terlihat ada monumen seperti
kilatan-kilatan api yang membara. Mungkin ini menunjukkan simbol gelora
semangat perjuangan rakyat Surabaya. Monumen yang dicat tembaga tersebut sekira
5-6 meter. Kami pun sempat mengambil gambar dan berfose di sana.
Monumen Simbol Gelora Perjuangan Surabaya |
Melirik
ke kanan terlihat gerbang utama masuk ke area tugu. Beberapa anak tangga
menyambut kedatangan kami. Setelah anak tangga terdapat Patung Bung Karno dan
Bung Hatta berwarna gelap dengan tinggi sekira 3 meter terlihat gagah. Beberapa
pengunjung terlihat berfose di bawah patung.
Patung Proklamator dan Sisa Pilar Gedung Pengadilan |
Hal
menarik, di belakang patung ada beberapa pilar. Jumlahnya 10 pilar, terbagi
tiga bagian, di tengah tepat di belakang patung Soekarno-Hatta ada 4 pilar.
Sedangkan di kiri dan kanan masing-masing tiga pilar. Dari penjelasan petugas
di sana, katanya pilar-pilar tersebut bagian yang tersisa dari bangunan bekas
reruntuhan Gedung Peradilan pada zaman
Belanda yang selanjutnya digunakan sebagai markas Kempetai atau markas
kepolisian di zaman Jepang sekaligus tempat penahanan bagi para pejuang yang
ditangkap oleh Jepang. Gedung tersebut menjadi saksi bagaimana penderitaan para
pejuang yang disiksa oleh Jepang. Bangunan tersebut hancur terkena serangan
artileri ketika berhasil dikuasai para pejuang Surabaya. Sisa pilar yang ada
mungkin saja lebih dari 10, tetapi karena dikaitkan dengan peristiwa 10
November maka yang diambil cukup 10.
Setelah
melewati patung Soekarno-Hatta dan pilar yang 10, terlihat jelas sebuah
lapangan luas seluas 1,3 hektar dan sebuah tugu tepat berada di seberang sana.
Pinggir-pinggir lapang ditanami aneka tanaman bunga yang indah. Di beberapa
titik terdapat kursi dari besi tempat pengunjung duduk menikmati indahnya
taman. Di tengah lapang nampak beberapa genangan air yang belum surut akibat hujan beberapa saat
sebelumnya. Dengan datang maghrib dan setelah turun hujan sebenarnya ada
untungnya, minimal kita terhindar dari suhu Surabaya yang cukup panas.
Keuntungan
lainnya jika berkunjung malam hari, kita akan melihat tugu dengan sajian lampu
aneka warna. Warna merah, hijau, biru saling berganti menghiasi Tugu Pahlawan yang
dibangun dalam bentuk lingga atau paku
terbalik dengan ketinggian 40,45 meter, diameter 3,10 meter dan di bagian bawah
diameter 1,30 meter. Di bawah monumen ini dihiasi dengan ukiran
"Trisula" bergambar, "Cakra", "Stamba" dan
"Padma" sebagai simbol api perjuangan. Tubuh monumen berbentuk
lengkungan-lengkungan (Canalures) sebanyak 10 lengkungan, dan terbagi atas 11
ruas. Tinggi, ruas, dan canalures mengandung makna tanggal 10, bulan 11, tahun
1945. Sedangkan di bagian dalam tugu, terdapat Museum 10 November. Museum
Sepuluh Nopember dibangun untuk memperjelas keberadaan Tugu Pahlawan tersebut
dan sebagai penyimpan bukti-bukti sejarah di 10 November 1945.
Aku
berdiri di pinggir lapang sambil menatap tugu yang ada di seberang. Ingatanku
menerawang liar ke masa lebih dari 70 tahun silam saat terjadi pertempuran
besar di Surabaya. Pertempuran Surabaya adalah salah satu pertempuran terbesar
yang terjadi pasca kemerdekaan Republik Indonesia.
Menurut
keterangan pertempuran 10 November Surabaya merupakan satu rangkaian peristiwa
pertempuran yang terjadi antara tentara Indonesia dan tentara Sekutu yang
berlansung sejak tanggal 27 Oktober sampai 20 November 1945. Pertempuran yang paling
besar terjadi pada tanggal 10 November 1945.
Kedatangan
Brigade 49/Divisi India ke-23 tentara Sekutu di bawah komando Brigadir Jenderal
A.W.S. Mallaby pada 25 Oktober 1945 di Surabaya menjadi titik awal pemicu
peperangan. Pada mulanya pihak Indonesia menyambut baik kedatangan tentara
Sekutu yang mendapat tugas untuk melucuti
tentara Jepang dan menyelamatkan para tahanan perang Sekutu di Indonesia
tersebut. Akan tetapi setelah diketahui bahwa NICA (Belanda) membonceng bersama
rombongan tentara sekutu, munculah perlawanan rakyat Indonesia terhadap tentara
Sekutu.
Pada
tanggal 30 Oktober 1945, terjadi bentrokan antara tentara Indonesia melawan
tentara Inggris. Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby tewas dalam bentrokan ini.
Hal ini mendorong tentara Sekutu mengirimkan pasukan dalam jumlah besar ke
Surabaya. Pasukan baru tersebut berada di bawah pimpinan Mayor Jenderal R.C.
Mansergh.
Pada
tanggal 9 November 1945, pihak sekutu mengeluarkan ultimatum kepada rakyat
Surabaya. Batas waktu ultimatum adalah pukul 06.00 tanggal 10 November 1945.
Ultimatum tersebut tidak dihiraukan karena dianggap sebagai penghinaan terhadap
pejuang Indonesia. Pada tanggal 10 November 1945, tentara Inggris melakukan
serangan besar yang melibatkan 30.000 pasukan, sejumlah pesawat terbang, tank,
dan kapal perang. Tentara Inggris mengira perlawanan rakyat Surabaya dapat ditaklukkan
dalam waktu beberapa hari. Di luar dugaan tentara Inggris, para pelopor pemuda
seperti Bung Tomo dan tokoh-tokoh agama yang terdiri dari para kyai dan ulama terus
menggerakan semangat perlawanan pejuang Surabaya hingga perlawanan terus
berlanjut berhari-hari bahkan berlangsung sampai beberapa minggu.
Meskipun
akhirnya kota Surabaya berhasil dikuasai tentara Sekutu, namun Pertempuran
Surabaya menjadi simbol nasional atas perlawanan bangsa Indonesia terhadap
penjajahan. Untuk mengenang peristiwa heroik di Surabaya, tanggal 10 November
diperingati sebagai Hari Pahlawan.