Sejarah
memang selalu menyimpan misteri. Dalam lintasan kehidupan rasanya tidak ada
satu kisah masa lalu yang bisa terungkap secara utuh. Tidak ada satu pun
catatan sejarah yang tidak menyisakan ruang kosong. Ini merupakan bukti dari
ketidakmampuan manusia mengkoleksi memori secara utuh akan lintasan masa
lalunya. Faktor kemampuan daya ingat dan ketidakutuhan sumber sejarah bisa
dituduh sebagai biang keladi penyebabnya.
![]() |
Gerbang masuk Dusun Kadiluwih |
Kaki
pun melangkah menyeberang jalan menuju gapura desa. Dari sana langkah
berlanjut menelusuri jalan aspal Desa Kadiluwih sekira 200 meter. Setelah itu
langkah pun berbelok ke kiri menyusuri jalanan kecil beralaskan paving block. Beberapa kali belokan
sempat dijumpai. Bahkan sempat salah belok, seharusnya ke kanan ini malah ke
kiri. Seorang bapak mencoba menunjukkan arah kemana kaki harus melangkah.
![]() |
Sebagian jalan setapak yang harus dilalui |
![]() |
Reruntuhan candi utama di kompleks Candi Gunung Wukir |
Berdasarkan temuan yang ada Candi Gunung Wukir bisa disebut sebagai kompleks candi. Memiliki ukuran sekira 50 x 50 meter dengan corak Hindu, khususnya Hindu Siwaisme. Hal ini terlihat dari keberadaan arca Nandi atau sapi betina tunggangan Dewa Siwa pada salah satu di antara tiga candi pewara dan lingga yoni yang menjadi simbol Dewa Siwa di candi utama dan dua candi pewara lainnya. Candi utama dan tiga candi pewara di depannya tersusun dari batuan andesit sebagaimana umumnya candi-candi di Jawa Tengah. Formasinya mirip dengan Candi Pramban. Ini setidaknya yang sudah ditemukan, walau belum tersusun sempurna. Di bagian dalam candi utama dan dua candi perwara yang berada dibagian kiri dan kanan terdapat sebuah yoni berukuran antara 50 sampai dengan 100 centimeter. Keberadaan yoni biasanyanya diikuti dengan adanya lingga, sebagai perwujudan sempurna kehidupan. Sayangnya keberadaan lingga ini tidak ditemukan, katanya akibat ulah tangan jahil yang tidak bertanggung jawab.
Dilihat
dari wujud bangunannya, keberadaan Candi Gunung Wukir yang pertama kali
ditemukan pada masa kolonial Belanda dan dipugar pada 1937-1939 belum bisa
dikatakan indah. Belum lengkapnya hasil temuan sebagian besar dinding bangunan
menyebabkan masih banyak sisa fuzzle
yang masih kosong dan belum tersusun. Faktor hilangnya material dan besarnya
biaya penelitian juga menyebabkan tersendatnya penelitian dan pemugaran candi.
Walau
begitu terdapat hal yang menarik terkait Candi Gunung Wukir. Menurut informasi
yang didapat candi ini merupakan candi tertua yang dapat dihubungkan dengan
angka tahun. Merujuk pada sebuah prasasti yang biasa disebut Prasasti Canggal, candi
ini didirikan pada masa pemerintahan Raja Sanjaya dari Kerajaan Mataram Kuno
pada 732 M atau 654 Saka.
Prasasti
Canggal merupakan prasasti yang dipahatkan pada pada batu berwarna kuning
kecoklatan. Memiliki bentuk persegi empat dengan tinggi 160 cm, lebar 81,5 cm
dan tebal 24,5 cm. Prasasti ini ditemukan oleh L. Poerbatjaraka dalam keadaan
terbelah dua. Bagian kecil ditemukan di halaman candi Gunung Wukir, sedangkan
bagian terbesar di bawah bukit Wukir. Bahasa yang dipergunakan adalah bahasa
Sansekerta dengan aksara Palawa akhir. Candrasengkala sruti indrya rasa atau 654 (Saka) atau 732 M menjadi petunjuk kapan
prasassti ini dikeluarkan.
Hal
terpenting dari keberadaan prasasti Canggal dan Candi Gunung Wukir memberikan
keterangan tentang keterangan yang sangat penting tentang keberadaan kerajaan Medang
di Mataram atau Mataram Hindu, terutama periode awal yaitu periode pemerintahan
raja Sanjaya. Prasasti Canggal dibuat untuk menandai berdirinya lingga di atas
bukit Sthirangga sebagai wujud rasa syukur Sang Sanjaya yang telah berhasil
mengalahkan musuh-musuhnya dan membuat kerajaan menjadi tenteram. Bangunan
tempat berdirinya lingga ini diyakini sebagai reruntuhan candi yang ditemukan
di atas Gunung Wukir tidak jauh dari tempat ditemukannya prasasti atau candi
Gunung Wukir yang kita kenal sekarang. Bukit Sthirangga sendiri bisa diartikan
sebagai Bukit Wukir atau Gunung Wukir sekarang.
Prasasti
Canggal juga memberikan informasi tentang silsilah kerajaan. Di sini disebut
tiga nama penting berikut satu nama tempat, yaitu Sanna, Sannaha dan Sanjaya
serta Yawadwiva. Sanna disebut sebagai raja besar yang telah memerintah dengan
lemah lembut di Yawadwiva atau Pulau Jawa. Ketika Sanna wafat penggantinya
adalah Sanjaya, anak Sannaha, saudara perempuan Sanna. Sanjaya disebut sebagai
tipikal raja yang gagah berani dan telah berhasil menaklukan raja-raja di
sekelilingnya. Sanjaya juga dipandang sebagai raja yang paham membangun
ketentraman bagi rakyatnya. Sanjaya diyakini sebagai peletak dasar dinasti
berikutnya yang akan berkuasa secara turun temurun di Mataram Kuno atau Mataram
Hindu.
![]() |
Arca nandi di reruntuhan candi pewara bagian tengah |
![]() |
Salah satu dari tiga reruntuhan candi pewara |
Bagaimana
dengan Kunjarakunja dan Sungai Gangga yang disebut dalam prasasti? Kunjarakunja
atau desa Kunjarakunja adalah tempat berdirinya bangunan suci. Secara harfiah
Kunjarakunja berarti “tanah dari pertapaan kunjara”. Nama ini diidentifikasi
sebagai tempat pertapaan pendeta Agastya yang terkenal dalam epik Ramayana. Sedangkan
Gangga adalah nama sungai di India yang dianggap suci. Menurut pendapat Dr.
Soekmono mengutip dari pendapat Stutterheim dan N.J. Krom kedua nama tersebut
jelas sangat India (Hindustan). Mengingat ada kesamaan topografi dengan daerah
Jawa atau Muntilan, penyebutan kedua nama tersebut di prasasti hanya sebagai
perumpamaan belaka. Jadi kesimpulannya Kunjarakunja itu daerah sekitar dusun
Canggal atau sekitar Muntilan sekarang yang memang ada sungai yang mengalir di
sekitarnya. Ini semakin memperjelas bahwa keberadaan Candi Gunung Wukir sangat
strategis dalam sejarah Hindu kuno di tanah Jawa, khususnya awal berdirinya
Mataram Kuno.
Masih
banyak yang harus diungkap terkait Candi Gunung Wukir. Sisa-sisa fuzzle yang masih kosong menjadi misteri
tersendiri dan menuntut untuk dicarikan pasangannya. Agar semakin terang
misteri yang ada. Walau begitu, dari sisi wisata keberadaan Candi Gunung Wukir
sangat pantas kalau dimunculkan kepermukaan secara lebih gencar. Wisata sejarah
yang dipadukan dengan tracking menjadi sensasi tersendiri, dibandingkan
berkunjung ke candi-candi besar yang sudah terkenal. (EC-Socius Media)