Oleh
Enang Cuhendi
Kupandangi
monumen setinggi 45 meter ini dengan tatap kagum dan penuh kebanggaan. Monumen yang berada
di tengah-tengah Kota Bandung, tepatnya di kawasan Lapangan Tegallega ini
merupakan salah satu monumen terkenal di kota berjuluk Kota Kembang ini. Kehadiran
monumen dengan sisi sebanyak 9 bidang yang dibangun 1981 dan direnovasi 2017 ini
tidak lepas dari satu peristiwa heroik di tahun 1946, yaitu Bandung Lautan Api.
Sebagai anak asli Kota Kembang kebanggaan akan peristiwa heroik ini akan terus
terpelihara dan diwariskan pada anak dan cucu.
Tepat
tengah malam jelang 25 Maret 1946 Kota Bandung yang indah mendadak luluh
lantak. Dinginnya malam di ibukota Priangan disingkirkan dengan hadirnya hawa
panas dari sejumlah bangunan yang terbakar hangus. Hawa panas nasionalisme dan heroisme
telah mendorong tentara serta masyarakat Kota Bandung untuk membakar kotanya sendiri.
Mereka tidak rela keindahan kotanya dinikmati oleh iblis kolonial berkedok
Sekutu (Inggeris) dan NICA (Belanda) yang berniat kembali menguasai Bumi
Nusantara.
Hari
ini saat tulisan dibuat, tepat 74 tahun yang lalu bertepatan dengan 23 Maret 1946 hari Jumat siang
sekitar pukul 13.25, Kantor Pemerintah Republik Indonesia di Kota Bandung
mendapat telepon dari Head Quarter. Isinya
menyatakan bahwa Panglima Komandemen I/Jawa Barat Jenderal Mayor Didi
Kartasasmita dan Wakil Menteri Keuangan Mr. Syafrudin Prawiranegara telah tiba
di Kota Bandung. Mereka siap menghadiri pertemuan TKR (Tentara Keamanan
Rakyat), MPPP (Majelis Persatuan Perjuangan Priangan) dan Pimpinan Pemeritah RI
di Bandung.
Bertempat
di Jalan Dalem Kaum pertemuan TKR, MPPP dan Pimpinan Pemeritah RI di Bandung dilaksanakan.
Hadir pada kesempatan tersebut Gubernur Jawa Barat Datuk Djamin, Residen
Priangan Ardiwinangun, Walikota Bandung Syamsurizal dan Panglima Divisi III TRI
Bandung Kolonel A.H. Nasution dan MPPP. Kemudian hadir pula Jenderal Mayor Didi
Kartasasmita, dan Wakil Menteri Keuangan Mr. Syafrudin yang membawa amanat
Perdana Menteri Sutan Syahrir. Dalam pertemuan ini dibahas tentang amanat penting
dari Perdana Menteri Sutan Syahrir. Isi amanat menyatakan bahwa, “Tentara
Sekutu (Inggeris) minta supaya daerah 11 km sekeliling Kota Bandung, dihitung
dari tengah-tengah kota, harus dikosongkan dari semua orang dan
pasukan-pasukan, laskar dan TRI yang bersenjata”.
Hasil
musyawarah intinya meminta agar ultimatum ditangguhkan. Untuk itu Kolonel A.H.
Nasution diwajibkan menemui Jenderal Mayor Didi Kartasasmita, Wakil Menteri
Keuangan Mr. Syafrudin Prawiranegara yang menunggu di Markas Divisi Inggeris
ke-23. Mereka menunggu Kolonel A.H. Nasution untuk bersama-sama menemui Mayor
Jenderal Hawthorn, Komandan Divisi ke-23. Pada kesempatan pertama ketiganya
gagal bertemu Mayjen Howthorn karena kesibukannya. Baru pada kesempatan kedua,
Mayjend Howthorn bisa ditemui. Ia menolak usul penangguhan ultimatum. Pada hari
itu, 23 Maret 1946 Mayjend Howthorn bahkan mengeluarkan ultimatum agar Bandung
segera dikosongkan sejauh 11 km.
Sekembalinya
dari Markas Divisi ke-23, Jenderal Mayor Didi Kartasasmita, Wakil Menteri
Keuangan Mr. Syafrudin dan Kolonel A.H. Nasution berangkat menuju Jakarta untuk
melapor pada PM Sutan Syahrir. Pada pertemuan di Gedung Proklamasi Sutan
Syahrir berpesan salah satunya jangan diadakan pembakaran karena yang rugi
rakyat sendiri dan kita sendiri yang harus membangunnya kelak. Semua pasukan
harus mentaati ultimatum untuk keluar dari Kota Bandung demi perjuangan
diplomasi. Sutan Syahrir juga mengamanatkan agar pemerintah sipil tetap tinggal
di Kota Bandung.
Saat
perjalanan pulang ke Bandung, 24 Maret 1946 sekitar pukul 10.00 pagi, Kolonel
A.H. Nasution mengalami konflik batin. Ia bingung antara setuju dan tidak,
mundur ataupun maju, semua tidak ada pilihan karena sudah disetujui pemerintah
RI. Tujuannya demi de facto RI di mata dunia dan kepentingan politik diplomasi.
Sesampainya di Bandung konflik batin Kolonel A.H. Nasution semakin kuat. Sesampainya
di Markas TRI Bandung Selatan yang berkedudukan di Jalan Kepatihan Bandung ia menerima
instruksi dari Markas Tertinggi TRI di Yogjakarta untuk mempertahankan setiap
jengkal tanah dan jangan menyerahkan Kota Bandung begitu saja kepada Sekutu. Dengan
kata lain ada isyarat dari MT TRI untuk melakukan tindakan taktis pada Sekutu sebelum
meninggalkan Kota Bandung.
Untuk
menyelesaikan kedua perintah yang terkesan kontradiktif tersebut, Kolonel A.H.
Nasution selaku Panglima Divisi III segera menemui pimpinan pemerintah sipil di
Kota Bandung. Ia bertemu dengan walikota, Badan Pekerja KNI Priangan, Polisi
dan MPPP. Ia sampaikan amanat PM Sutan Syahrir dan juga instruksi MT TRI. Semua
sepakat bahwa mengingat sudah disetujui pemerintah pusat, maka amanat PM Sutan
Syahrir harus dijalankan, tetapi perintah MT TRI juga harus dipertimbangkan.
Sebagai
langkah awal Walikota Bandung meminta kepada pihak Sekutu untuk memperpanjang
batas ultimatum 10 hari ke depan. Permintaan ini ditolak, mereka hanya bersedia
menyediakan kendaraan untuk mengangkut TRI ke luar dari Bandung. Usul Sekutu ini
pun ditolak walikota dengan mempertimbangkan beban psikologis pasukan TRI.
Sekitar pukul 14.30 Walikota Syamsurizal mengadakan pidato radio mengumumkan
keputusan pemerintah pusat kepada semua warga Bandung. Disampaikan pula bahwa ia
dan unsur pemerintah kota akan tetap tinggal di Bandung untuk menjalankan
tugasnya sebagai pemerintah RI di dalam wilayah Sekutu.
Sementara
posisi Kolonel A.H. Nasution sebagai Panglima Divisi III sangat sulit. Ia
dihadapkan pada pilihan yang dilematis. Akhirnya atas pertimbangan dan hasil
koordinasi dengan MPPP diputuskan untuk kembali ke rencana awal, yaitu
penghancuran dan pembakaran Kota Bandung. Pertimbangannya karena kalau tidak
dihancurkan fasilitas kota yang utuh akan menguntungkan pihak Sekutu. Langkah
taktis ini sejalan dengan instruksi tersirat dari MT TRI.
Sekitar
pukul 16.00 Panglima Divisi III mengirim pesan kepada Walikota Bandung. Isinya
menginstruksikan pemerintah Kota Bandung untuk meninggalkan Kota Bandung, sebab
kota akan dibakar dan dihancurkan. Ia pun memerintahkan segenap penduduk, baik sipil
maupun militer harus meninggalkan Kota Bandung sebelum pukul 24.00 tanggal 24
Maret 1946 karena TRI akan melakukan bumi hangus terhadap semua bangunan yang
ada.
Dalam
rencana strategisnya sesudah matahari terbenam Bandung Utara akan diserang dari
arah utara serta dibumihanguskan. Dari arah selatan akan diadakan penyusupan ke
utara. Untuk itu Pos Komando TRI di Kota Bnadung dipindahkan ke Kulalet,
Dayeuhkolot, Bandung Selatan. Untuk pembumihangusan Kota Bandung, dibagikan
bahan peledak berupa dinamit, detonator, granat, dan bom molotov. Di sepanjang
jalan yang kemungkinan dilalui Sekutu dipasang ranjau berbahan peledak. Pusat
peledakan direncanakan tepat pukul 24.00 di Gedung Bank Rakyat sekitar
alun-alaun Bandung dengan bahan peledak berskala besar. Semua rencana dipimpin
oleh Sutoko selaku ketua MPPP. Untuk urusan pengangkutan logistik dan
barang-barang TRI dan MPPP sudah dilakukan sejak siang hari ke selatan. Pembagian
sektor serangan juga sudah dibagi penugasannya.
Menindaklanjuti
perintah Komandan Divisi III pimpinan MPPP juga mengeluarkan perintah kepada
seluruh laskar, badan-badan perjuangan dan rakyat lain yang bersenjata untuk
mendukung langkah TRI. Dalam perintahnya yang ditandatangani Soetoko, MPPP
memerintahkan semua pasukan bersenjata untuk steling dengan senjata lengkap dan mempersiapkan alat-alat peledak.
Pasukan yang tidak bersenjata diperintahkan untuk menyelamatkan barang-barang
Sementara
itu di kalangan warga Bandung terjadi kebingungan atas adanya dua perintah dari
walikota dan Panglima Divisi III. Untuk mengatasi kebingungan masyarakat Walikota
Syamsurizal berpidato di radio agar masyarakat tetap tenang dan mengikuti
perintah Panglima Divisi III.
Kesibukan
terlihat di seluruh wilayah Kota Bandung. Arus pengungsian sekitar 350.000-an masyarakat
Kota Bandung terlihat mengarah deras menuju ke luar kota Bandung. Sebagian
besar pengungsian dilakukan dengan cara berjalan kaki, di samping yang
menggunakan kendaraan, dokar dan andong. Daerah Ciwidey, Ciparay, Pangalengan, Banjaran,
Majalaya, Cililin, Lembang, Tasikmalaya, Garut dan daerah lainnya menjadi titik
tujuan pengungsian. Gubernur Datuk Djamin, Walikota Syamsurizal dan para
pejabat lain juga bergerak mengungsi. RRI Bandung dan Surat Khabar Suara
Merdeka atas permintaan Gunernur memilih tempat mengungsi ke Tasikmalaya. Radio
Banteng Hitam membangun pemancar di Banjaran. Sedangkan rombongan pimpinan Kota
Bandung di bawah pimpinan walikota melintas menuju jalan Cigereleng (Jalan Moch.
Toha sekarang).
Perjalanan
sejauh 11 kilometer ini merupakan perjalanan yang berat bagi masyarakat Kota Bandung.
Selain pengorbanan fisik yang cukup jauh, mereka juga harus merelakan semua rumah
dan harta yang dimilikinya selama ini tetap di dalam kota dan ikut hancur
bersama strategi bumi hangus yang dijalankan TRI. Sanak saudara dan tetangga yang selama ini
dekat dalam lingkungan hidup mereka harus berpisah satu dengan yang lain.
Mengungsi dengan bekal hidup seadanya dan tidak tahu akan tinggal di mana
adalah pilihan yang harus diambil demi ketaatan kepada pimpinan dan keyakinan
atas keputusan terbaik dari pimpinan. Semua pengorbanan ini dilakukan demi tegaknya
proklamasi kemerdekaan RI. Sungguh pengorbanan yang sangat luar biasa.
Sesuai
rencana tepat pukul 24.00 tanggal 24 Maret 1946 atau pukul 00.00 tanggal 25
Maret 1946 peledakan pertama yang menjadi simbol akan dilakukan di Gedung Bank
Rakyat di alun-alun Bandung. Rencana tersebut tidak berjalan sacara mulus,
karena sekitar pukul 20.00 tanggal 24 Maret
1945 ledakan pertama yang diikuti ledakan-ledakan berikutnya sudah
berdentum lebih dulu di wilayah Kota Bandung. Langit Bandung mulai memerah. Para
pejuang kemerdekaan Kota Bandung sudah mulai melakukan aksinya. Sebelum meninggalkan
kota mereka mulai membakar gedung-gedung, kantor-kantor instansi dan jawatan
pemerintahan baik sipil maupun militer, begitu juga perumahan penduduk yang
dianggap strategis dibumihanguskan. Bandung benar-benar menjadi lautan api.
Perubahan
rencana tersebut didorong karena situasi tiap daerah di dalam kota berbeda-beda
juga adanya semangat luar biasa untuk
menghancurkan kota agar tidak
dimanfaatkan Sekutu dan NICA.
Di
tengah hingar bingar suara ledakan dan api yang menyala dari seluruh Kota
Bandung sebelum pasukan TRI meninggalkan kota Bandung dilaksanakan pertempuran
perpisahan. Komandan Resimen 8 Letnan Kolonel Omon Abdurakhman memerintahkan
semua komandan batalyon bawahannya untuk menyerang basis-basis pertahanan
Sekutu dan NICA. Pukul 01.00 tanggal 25
Maret 1946 pasukan Mayor Tobing menyerang markas Sekutu dan NICA di Gedung Departemen van Oorlog (DVO) di Jalan
Kalimantan dan ke Gedung Pensiunan Fond
di Jalan Diponegoro. Pasukan Batalyon Lasiman dan Detasemen Mayor Abdul Hamid
menyerang markas Sekutu dan NICA di Cimahi mulai pukul 02.00. Sementara kesatuan
Batalyon Wiranatakusumah dan Batlyon Sudarsono sekitar pukul 05.30 bertempur di
sekitar Perempatan lima dan Lapangan terbang Andir atau Husein Sastranegara
sekarang. Pasukan lainnya bertempur di sekitaran KMA (Koninklijke Militaire Academie) di Ciumbuleuit.
Setelah
tengah malam tanggal 24 Maret 1946 Bandung berubah total. Tidak lagi nampak
sebagai kota yang indah yang sempat menjadi tujuan tempat tinggal dan persinggahan
para tuan dan noni Belanda, tapi menjadi satu kota yang sepi dari kehidupan
masyarakat. Dengan nyala api memenuhi seluruh kota laksana sebuah lautan api.
Kehancuran akibat bumi hangus dan peledakan terlihat di mana-mana. Bangunan-bangunan
bersejarah rusak. Bangunan peninggalan kolonial hangus terbakar. Memang tidak
semua gedung sempat dihancurkan. Gedung-gedung megah seperti Hotel Preanger,
Hotel Homan, Societeit Concordia
(Gedung Merdeka sekarang), Denis
(Gedung Bank Jabar dan Escomto).
Walaupun demikian kerusakan terhitung
parah dan luluh lantak terjadi di bagian selatan Kota Bandung. Sekutu dan NICA
dalam press realease-nya menyajikan
berita dalam kotak hitam tanda berkabung dan murka. Bahkan Panglima Divisi III,
Kolonel A.H. Nasution dianggapnya sebagai “penjahat perang”.
Peristiwa
heroik Bandung Lautan Api meninggalkan makna yang mendalam bagi rakyat Bandung.
Peristiwa ini akan terus terpatri dalam benak warga Bandung. Lagu “Halo-halo
Bandung” yang diciptakan Ismail Marzuki akan selalu mampu menggugah semangat
perjuangan. Monumen Bandung Lautan Api di Lapangan Tegallega Bandung sejatinya didirikan
untuk memperingati dan mengenang peristiwa heroik perjuangan rakyat dan pejuang
Bandung berikut pengorbanannya yang sangat luar biasa demi perjuangan dan
kemerdekaan Indonesia tercinta. Nilai heroisme 74 tahun yang lalu ini harus
selalu ditularkan kepada setiap generasi sampai kapanpun.
Bandung,
23 Maret 2020
Sumber
Bacaan
Dinas Sejarah Angkatan Darat, 2016, Bandung Lautan Api, Bandung, Dinas
Sejarah Angkatan Darat
Kodam VI /Siliwangi, 1968, Siliwangi Dari Masa Ke Masa, Bandung,
Fakta dan Mahyuma.
Tim KodamVI/Siliwangi, 1982, Bandung Lautan Api 24 Maret 1946,
Bandung, Kodam VI/Siliwangi.
Sumber Gambar
1981 Monumen Bandung Lautan Api,
23
Maret 2020 pukul 19:30.