Oleh
Danner Purba, S.Pd.
Saat
malam menjemput sang siang aku masih duduk santai di teras depan rumah yang
langsung berhadapan ke Sungai Pomact, sungai pasang surut yang asin dengan lebarnya sekitar 200 meter.
Suara jangkrik mulai bersahutan, gerombolan kodok juga demikian, pohon nyiur di
ujung desa pun nyaris tidak lagi kelihatan, hanya kunang-kunang yang berlalu
lalang memberi sedikit terang. Hewan yang dulunya bagiku sangat menakutkan kini
nyaris seperti teman.
Ini
lah desa tempatku bertugas, salah satu desa terpencil di pedalaman Asmat
(Papua). Desa yang setiap sudutnya gelap saat malam, tapi walau begitu penduduknya
hidup bahagia dan merasa nyaman. Penduduk di desa ini memiliki sikap yang ramah
dan penuh kehangatan. Saat aku berjalan menyusuri jembatan papan setiap warga
dari anak kecil, remaja, dan tua pasti memberi salam. Mereka juga tidak pernah
mengeluh dengan terbatasnya keadaan. Mereka juga tidak pernah mengeluh tentang
mati lampu, karena di desa ini memang tidak pernah mati lampu alias tidak ada aliran
arus untuk lampu.
Kabupaten
Asmat ini sangat unik, topografinya yang seluruhnya datar dan dekat dengan laut
menyebabkan semua tanah yang ada basah
saat air laut pasang. Semua air yang mengalir berasa asin, asam, dan berlumpur.
Di kabupaten ini juga tidak ada kendaraan bermotor, semua rumah warga
dihubungkan dengan jembatan papan, lantai rumah dari papan, kamar mandi papan,
jalan utama papan, bahkan lapangan sepak bola pun dibuat menggunakn papan. Maka
tak jarang orang-orang menyebutnya dengan julukan “Negeri 1000 Papan”.
Gelapnya
malam semakin tak terbantahkan, Rasanya sudah tidak nyaman mata ini menatap dan
beradu dengan pekatnya malam. Perlahan kuayunkan langkah menuju kamar,
kubaringkan tubuhku sambil memandangi kunang-kunang yang berkeliaran di
langit-langit kamar. Sejenak rindu dan terbayang akan kehidupan yang lebih
nyaman di kota asal. Terbayang akan semua fasilitas yang mudah didapatkan, dan
terbayang akan keluarga yang sudah lama tak kuberi kabar karena tidak ada signal.
Perlahan kupejamkan mata, kulawan rindu dengan keluarga yang jauh di mata, dan
akhirnya aku pun terlelap dan terbawa ke alam bawah sadar.
Pagi
pun datang menjelang, mukin karena tidurku terlalu panjang sehingga bangun
terlalu pagi sudah bukan lagi hal yang
menantang. Pukul 06.45 WIT aku sudah selesai beres-beres dan berganti pakaian.
Suara langkah siswa/siswi ku saling beradu di jembatan papan depan rumah.
Tok..
Tok.. Tok...!!
"Pa
guru selamat pagi.”
“Pa
guru selamat pagi." Kata salah seorang siswa sambil mengetuk pintu
rumahku.
"Ia
selamat pagi" Kataku sambil datang dan membuka pintu.
“Pa
guru hari ini kita tidak sekolah kah? ini su terang, itu matahari su di atas,"
Kata Dedi sambil menunjuk mata hari di ufuk timur yang bersinar cerah.
"Ia
kita hari ini sekolah tohh, tapi ini belum jam masuk, jam masuk itu jam delapan."
Kataku menjelaskan.
"Pak
guru baru ini su jam berapa kah?” tanya Bakap.
Ini
masih jam 06.46, tapi ya sudah jalan sudah ke sekolah, sebentar Bapak menyusul”,
kataku.
Mereka pun berlalu menuju sekolah dengan wajah dengan semangat dan
tetap ceria.
Seandainya
di desa ini ada arus listrik dan speaker
ingin rasanya memutar musik dengan lirik
"Pagiku cerahku matahari bersinar, ku gendong tas merahku di pundak,
Guruku tersayang.... dst’
Begitulah
kondisi siswaku di sini. Mereka tidak punya jam tangan dan penunjuk waktu
lainnya. Patokan bagi mereka untuk bangun pagi adalah sinar matahari. Saat
cerah maka mereka bisa datang terlalu pagi, tapi saat mendung mereka bisa
datang jam 09.00 WIT ke sekolah dengan santai dan tanpa merasa bersalah.
Ting..! Ting..! Ting..!
Lonceng
sekolah tanda bersiap masuk kubunyikan dengan nyaring. Seperi biasanya mereka
pun baris berkumpul di lapangan dan mendengarkan beberapa pengarahan. Jumlah
siswa/siswi yang hadir saat itu sekitar 120 siswa, sementara guru hanya dua. Kami
berdua adalah guru yang ditempatkan pemerintah di desa ini lewat jalur SM-3T
(Sarjana Mendidik di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal).
Seketika
aku tepuk jidat, apa bisa dua guru mengajar siswa 6 kelas,? pikirku dalam hati.
Saat muncul sedikit rasa pesimis, tiba-tiba muncul sebongkah rasa optimis.
Dalam
hati yang paling dalam masih tertancap dengan kokoh: "Aku kesini untuk kalian"
Setelah
diskusi singkat dengan satu orang rekan sejawat, akhirnya kami pun berbagi
kelas. Kelas kecil I, II dan III yang berjumlah sekitar 60 orang menjadi
tanggung jawabku, sedangkan kelas besar IV, V dan VI menjadi tanggung jawab
rekanku.
Pertama-tama
terasa kaku, tidak mudah memang mengajar 3 tingkatan kelas sekaligus. Daya
tangkap dan kemampuan awal siswa yang rendah juga turut menjadi kendala. Belum
lagi aku harus siap jadi guru agama, guru olah raga, matematika dan guru mata
pelajaran lainnya.
Satu
hal yang menambah semangatku siswa kami ini tidak banyak mengeluh, tidak manja,
dan tidak terlalu usil dengan teman saat belajar. Dengan demikian aku tidak
perlu mengelurkan banyak energi untuk menertibkan mereka. Tidak jarang kami menemui
hal-hal lucu yang mengundang tawa. Salah satu contohnya saat kelas dua kuminta
menulis huruf M sebanyak 1 lembar, dan tentunya sudah terlebih dahulu kucontohkan
dengan huruf M di papan tulis sebanyak satu baris.
Tampaknya
semua siswa bersemangat membuat huruf M agar penuh satu lembar, tapi ternyata huruf
yang benar-benar percis huruf M hanya beberapa baris selebihnya berubah jadi
huruf W dan sebagian lagi entah huruf apa. Tapi bagiku itu tak mengapa, aku
aprsiasi semangatnya. Yang pasti mereka masih ada kemauan untuk terus belajar.
Aku sangat meyakini bahwa di mana ada kemauan di situ ada jalan.
Tiga
bulan pertama jalannya pembelajaran seperti tertatih. Selain kemampuan awal
siswa/siswi kami yang rendah hidup masyarakat yang masih meramu dan berburu
membuat setiap minggu siswanya selalu baru. Gantian yang datang setiap
minggunya. Mereka harus ikut orang tua ke hutan selama beberapa minggu untuk
mengumpulkan makanan dan kembali ke desa saat persediaan makanan yang terkumpul
sudah lumayan.
Di
satu sisi hidup mereka yang berburu dan meramu
juga harus kami syukuri, karena kalau siswanya datang bersamaan kami
pasti sangat kewalahan, jumlah siswa sebenarnya ada sekitar 260 orang dan yang
datang setiap harinya sekitar 120 orang dan datangnya setiap minggu bergantian.
Warna kulit, rambut, dan wajah mereka yang hampir mirip satu sama lain juga
menjadi kendala untuk dapat mengenali siswa ini satu persatu. ya memang segala
sesuatu butuh proses. Batinku.
Setip
hari sebelum memulai kegiatan pembelajaran siswa kelas I, II dan III terlebih dahulu dikumpulkan di satu ruangan, kami bersama-sama berdoa dan setah
berdoa yanyian lagu daerah papua pun mengalun dengan merdu di ruangan tersebut.
Setelah selesai berdoa kelas II masuk kerungan kelasnya, sementara kelas I dan II
tetap di ruang kelas sebelumnya. Tujuan
untuk menghemat pergerakan ke tiga ruang sekaligus.
Anak
kelas I dan II duduk secara terpisah (sayap kiri dan sayap kanan). Duduk di bangku panjang yang sebagian nyaris
seperti kursi goyang (reot). Satu bangku biasanya terdiri dari 2 sampai 3
siswa.
Papan
tulis kubagi menjadi dua bagian. Sebelah untuk anak kelas 1 dan yang lainnya
untuk anak kelas 2. Setelah aku memberikan penjelasan tentang materi yang akan
dikerjakan untuk kedua kelas aku pun bergegas menuju ke ruangan kelas tiga.
"Selamat
pagi..!!" Kataku ramah menyapa kelas 3 yang sudah siap menunggu hadirku.
"Selamat
pagi Bapak guru.." Jawab mereka serentak. “Hari ini kita akan belajar IPS
tentang lingkungan Alam dan Lingkungan buatan”.
Saat
belajar mengenai lingkungan alam dan lingkungan buatan, di wajah mereka
tergambar rasa senang. Mukin dalam hati mereka berkata: “Syukurlah, ternyata
kali ini belajarnya agak santai dan tidak menguras pikiran. Kali ini tidak
belajar perkalian dan pembagian yang bagi kami merupakan pelajaran yang sulit.”
Saat
rasa lelah sedang menghampiri mereka, mata pelajaran IPS menjadi pelepas penat,
selain jam olah raga tentunya. Walau demikian aku sangat memaklumi hal
tersebut, selain jarang diajari sebelum kami ditugaskan di sekolah tersebut,
daya serap mereka yang agak rendah juga mungkin disebabkan umur mereka sudah tidak
sesuai lagi duduk di kelas III SD. Sebagian dari mereka sudah berumur 12 tahun
bahkan ada yang berumur 16 tahun.
Suatu
ketika saat belajar IPS menganai provinsi yang ada di Indonesia. Aku mencoba
menanamkan pada mereka bahwa Indonesia itu luas, kamu harus rajin baca buku
karena buku adalah jendela duni. Dari buku kamu bisa tahu segalanya. Mereka pun
bersemnagat memperhatikan atlas dan menyebutkan beberapa tempat yang akan mereka
kunjungi kelak.
Saat
jenuh menghampiri, kuingat lagi motto kami MBMI (Maju Bersama Mencerdaskan
Indonesia). Ada banyak orang yang sedang berjuang mencerdaskan generasi emas
Indonesia melalui jalurnya masing-masing dan aku telah memilih jalur SM-3T, dengan
motto tersebut semangatku pulih kembali dan meyakini bahwa "Setahun
mengabdi selamanya menginspirasi". Tidak terasa setahun penuh sudah hampir
berlalu. Itu artinya sudah waktunya bagi kami untuk kembali ke daerah asal
masing-masing. selama bertugas di desa tersebut kelas rangkap adalah metode
pembelajaran andalan dan IPS menjadi mata pelajaran is the best.
Hari
perpisahan pun benar-benar tiba, tidak kuat rasanya melihat mereka ramai-ramai yang
kecil hingga yang tua mengantar kami ke perahu sambil berlinang air mata. “Pak
guru, kenapa kasih tinggal kami, sama siapa kami belajar, jangan pergi Pak
guru, kami mau pintar, kami janji mau rajin belajar”.
Ucap
mereka penuh pilu. mereka meyakinkan kami agar tetap tinggal bersama mereka
sambil tetap membantu kami memikul koper,
tas dan barang-barang lainnya berjalan menyusuri jembatan papan penuh lubang
(reot).
Kupeluk
satu persatu siswaku, kukatakan bahwa ilmu dan pendidikan adalah jembatan
penghubung. Teruslah belajar, gapai ilmu sebanyak mukin, semoga dengan ilmu
yang kamu dapat kita bisa berjumpa kembali dengan senyum yang lebih manis.
Perahu
kami pun melaju, isak tangis mereka semakin terdengar, “Pak guru..! Pak guru..!
Datanglah lagi, kasih ajar kami”. Aku hanya tertunduk dan tak sanggup memandangi mereka dan desa kecil yang
memberiku banyak pelajaran berharga. Desa yang penuh dengan kenangan juga ketenangan.
Perahu pun kian menjauh dan kini sudah berada dilaut lepas menuju pelabuhan
Agats. Sayonara siswa/siswiku, terima
kasih untuk pengalaman berharga ini. Kataku dalam hati menahan rasa pilu.
SM-3T
Kab. Asmat, Papua 2016.