oleh:
Yeyet Nuryeti, S.Pd.
SMPN 2 Cipanas, Lebak, Banten
SMPN 2 Cipanas, Lebak, Banten
Malam kian larut saat
kutekan icon shut down, ku sudahi
pekerjaanku malam ini. Berharap besok di kelas tampil memuaskan dan memberikan
pelayanan prima bagi peserta didikku. Aku guru IPS di sebuah sekolah negeri, kota
kecil bernama Cipanas. Sepuluh tahun delapan
bulan Sudah aku mengabdikan diriku di sini. Walau perantau dedikasiku
tak usah di ragukan.
Tahun 2007 aku lulus
di sebuah perguruan tinggi negeri di Bandung. Setelah mendapat gelar sarjana
pendidikan aku kuatkan tekad untuk merantau. Alasanku merantau sebenarnya menggelikan.
Pada saat itu aku berharap rencana Abah menikahkanku dengan anak temannya,
urung. Perdebatan dengan abah dan airmata yang menganak sungai dari kelopak
mata emak mengiringi kepergianku. Dengan segenap tekad yang kuat aku berangkat
merantau ke Negeri Jawara. Entah apa yang membawaku tempat itu. Tempat aku
mengabdi saat ini. Sepuluh tahun lebih aku betah di sini dengan segala suka dan
duka yang kualami.
Mentari bersinar
redup. Hujan semalam masih menyisakan mendung, tapi tak mampu menghalangiku
pergi menjalankan tugas. Sesampainya di gerbang ku rapihkan jilbabku yang sejak
tadi berkibar-kibar tak karuan sepanjang perjalanan. Aku menumpang ojek tiap
hari ke sekolah.
“Asalamu alaikum, Ibu!”
Terdengar suara yang tak asing di telinga beruluk salam.
“Waalaikum salam warahmatullahi
wa baarakatuh!“ jawabku sambil melempar senyum padanya.
“Ada apa, Andis?”
tanyaku.
“Enggak ada apa-apa, Bu.
Cuma mau menyapa Ibu saja! Jawabnya dengan ekspresi yang tidak biasa.
“Ada yang aneh dengan
dia, tapi apa, ya?” Tanyaku dalam hati.
Setelah Andis undur
diri dari hadapanku, kuperhatikan dia sampai lenyap masuk ke kelasnya. Andis
adalah anak yang punya gelar trouble make.
Berhadapan denganya selalu saja perlu kesabaran ekstra. Ada saja ulahnya tiap
hari. Usilin teman sekelas sudah jadi makananya sehari-hari. Bolos pun sudah
tak terhitung. Belum lagi lompat pagar, berkelahi hingga pemalakan terhadap
adik kelasnya.
Pagi ini
jadwal sangat padat. Jeda di jam
istirahat, hanya tiga puluh menit saja. Lelah itu sudah pasti. Apa boleh buat
ini konsekuensi pekerjaan, harus kujalani dengan sepenuh hati. Sebelum bel
dibunyikan aku menyiapkan segala rupa media pembelajaran. Hari ini materi pasar
ekonomi kreatif. Di skenario pembelajaran yang kurencanakan, anak-anak diajak
berkelompok untuk membuat rencana dagang kreatif.
Beberapa
menit lagi bel akan di bunyikan, tanda masuk ke kelas. Persiapan bahan ajar
yang akan kubawa ke kelas dirasa sudah cukup. Aku ambil tumpukan buku catatan yang telah kukoreksi.
Untuk di bagikan kemudian ke masing-masing pemiliknya. Setelah beberapa saat,
tanganku terhenti di satu buku yang sudah sangat lusuh. Gambarnya hampir sudah
tidak jelas. Di pojok kanan atas tertulis nama “Andis”. Entah apa yang menggerakan
tanganku untuk membuka helai demi helai bukunya. “Dia, apa istimewanya dia?”
batinku. Di halaman terakhir yang halamanya hampir saja terlepas dari halaman
yang lain, ada tulisan yang membuatku ingin membacanya. Aku sangat yakin ini
bukan catatan materi pelajaran.
“Assalamu alaikum, dengan tidak mengurangi
rasa hormat. Andis mau minta maaf atas
kesalahan-kesalahan Andis selama ini, Andis tahu Andis salah. Tapi Andis tak
tahu bagaimana caranya agar semua orang paham dengan apa yang Andis alami
selama ini. Andis ingin bicara tapi bingung harus bicara ke siapa? Andis ingin
di dengar, Andis ingin di perhatikan,Aandis sudah berusaha keras untuk berubah,
tapi Andis gak bisa. Pada kesempatan iniAandis mau minta maaf yang
sebesar-besarnya ke ibu, dan mohon doanya agar Andis bisa jadi murid ibu yang
baik, Andis mau berubah bu, Terimakasih ibu, telah membuka mata Andis.
Bel berbunyi dan
siswa-siswi yang tengah bermain di koridor dan lapangan sekolah pun bergegas
masuk ke kelas. Dengan tertib, mereka duduk di kursi masing-masing dan membuka
buku pelajaran. Duduk rapi dalam kelompok-kelompok kecil. Wajah-wajah yang
memancarkan semangat itu turut menumbuhkan semangat dalam diriku. Wajah-wajah
itu jugalah yang telah menjadi bagian dari keseharianku selama hampir sepuluh tahun
terakhir.
Selain mengingat
wajah setiap anak didikku, aku beruasaha hafal nama dan sifat mereka masing-masing.
Bagiku sebagai seorang guru, mengetahui karakter anak merupakan hal yang paling
penting. Karakter siswa di kelas tidak ada yang sama. Tingkat
pemahaman mereka pun berbeda-beda. Misalnya, ada anak yang bisa IPS, tetapi
kurang menguasai pelajaran lain. Ada juga anak yang kurang menguasai banyak
pelajaran, tetapi bagus di SBK (Seni, Budaya, dan Keterampilan). Padahal anak
tersebut bukannya tidak bisa, tetapi hanya butuh waktu agak lama atau mungkin
butuh metode pengajaran lain. Kita tidak boleh menganggap dia bodoh atau
sejenisnya karena setiap anak pasti mempunyai kelebihan.” Batinku berkecamuk.
“Hening sekali?” tanyaku
dalam hati. Sambil tangan masih sibuk membuka lembar demi lembar hasil ulangan
anak-anak. Ternyata bel pulang sudah di bunyikan 30 menit yang lalu, tapi aku
masih terpekur melihat nilai-nilai ulangan harian peserta didikku, khususnya di
KD 3.3. Apa yang salah dengan caraku mengajar, tahun kemarin dengan metode ini
peserta didikku hampi 35 % mampu menembus rata-rata 95, 45 % ada di kisaran 80, sisanya tidak
begitu buruk ada di atas KKM. “Apa yang terjadi dengan tahun sekarang?” tanyaku
berulang kali dalam hati sambil mengurut kening.
Lembar demi lembar
koreksian hasil ulangan peserta didik kuselesaikan, mengingat besok sudah harus
memulai ke materi selanjutnya. Baru sampai pada lembar ke-30 aku sedikit kaget.
Di uraian terjawab dengan tepat semua, siapakah ini? tanyaku dalam hati. Saat
kulihat namanya di lembar bagian depan, Muhamad Andis, kelas IX B. Nah lho, dia?
Membaca namanya lamunanku
menerawang ke dua minggu yang lalu. Kejadian yang membuatku sesak nafas. Ya,
dia si troubel maker kelas. “Kalo dia
tidak ada di kelas, damai rasanya seisi kelas,” kata salah satu temanya.
Siang itu di jam
istirahat kedua. Aku ada jadwal di kelasnya. Belum juga sampai ke bibir pintu,
tiba-tiba, “Braak...!” Ada suara keras berasal dari dalam kelas.
“Ada apa ini ?
seruku, setengah berlari.
Anak-anak sudah riuh
menyoraki yang sedang berkerumun tepat di depan meja guru. Saat melihatku sekejap
anak-anak mundur, merapikan diri di bangkunya masing-masing. Tak ada satu pun
yang menjawab pertanyaanku. Sejurus kemudian aku menyaksikan sendiri, kursi
tertumpuk tiga ke atas. Kemudian terguling tak beraturan. Ternyata dia pelakunya,
siapa lagi kalau bukan “Andis”.
“Maksud kamu apa tadi, Dis?“ tanyaku saat
kupanggil dia keruanganku setelah pelajaran usai. Reaksi
yang aku terima bikin aku gregetan, sepertia biasanya slengean. Kali ini kupaksa dia, untuk memahami setiap kalimatku, ku
tatap dia dalam-dalam. Hampir setengah jam aku bersamanya, tapi tak ada hasil,
masih dengan gayanya yang cuek.
Menghadapinya
aku berusaha cerdas dan bijak, aku harus bisa memahami
bahwa setiap anak membutuhkan perhatian.
Seperti Andis ini, ada yang mencari perhatian dengan bersikap sulit
diatur, atau malah sebaliknya, menjadi pendiam dan penurut. Aku tidak bisa
menyamakan anak yang satu dengan yang lainnya, yang penting adalah metode
pendekatan ke anak. Aku perlu dekat dulu dengan anak ini. Aku harus mengetahui
dulu karakter anak itu seperti apa. Setelahnya, barulah aku bisa memutuskan
bagaimana menghadapi anak tersebut.
Belajar dari kejadian
yang lalu bagiku menjadi
guru tak sekadar mengikuti ritme harian. Letak keprofesionalan seorang guru
terletak ketika dia bekerja bukan untuk dirinya semata, tetapi juga kemauan
untuk mengubah muridnya menjadi lebih baik dari hari ke hari. Seorang Guru tak
hanya mengajarkan ilmu, tapi bisa memahami setiap kondisi muridnya dan
memberikan terapi yang baik. Sehingga, murid-muridnya menuju ke arah yang lebih
baik. Dari Andis aku belajar jadi guru yang baik. Terimakasih, Andis!