Oleh Enang Cuhendi
SANCANG
Pada 2019 yang lalu saya berkunjung ke Desa Sancang di
Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut untuk satu kegiatan. Daerah ini dari pusat
kota Garut kalau lewat jalur Cikajang sekitar 109 km dengan perjalanan yang
“mengasyikan” khas Kawasan Garut Selatan. Ketika memasuki gerbang desa Sancang,
sebuah tugu dengan patung harimau putih (maung
bodas-basa Sunda) di atasnya
menyambut kedatangan kami.
Seketika ingatan bergerak liar pada satu sosok yang sudah melegenda dalam kehidupan masyarakat
Sunda, khususnya terkait dengan Leuweung
(hutan) Sancang yang dianggap keramat. Ya, sosok Prabu Siliwangi yang menurut
keyakinan masyarakat tilem (mangkat)
di hutan ini dan menjelma menjadi maung.
Benar atau tidaknya, wallahualam.
Tidak banyak memang nama yang begitu
melegenda dalam kehidupan masyarakat. Apalagi nama yang bernuansa sejarah
dipakai dengan penuh kebanggaan untuk sejumlah nama identitas kekinian.
Siliwangi adalah salah satu dari sedikit nama tersebut. Tidak
ada satu pun nama tokoh di Jawa Barat setenar Siliwangi. Namanya diabadikan
dalam segala hal. Masyarakat sudah begitu familiar dengan nama, seperti: Jalan
Siliwangi, Kesatuan Kodam III/Siliwangi, Universitas Siliwangi, Stadion
Siliwangi, Babakan Siliwangi, Gedung Pertemuan Rakyat Siliwangi, Sekolah
Kartika Siliwangi, Gedung Bumi Siliwangi, Museum Mandala Wangsit Siliwangi,
kolam renang, travel, perusahaan dan sebagainya semua berbau Siliwangi. Bahkan
sosok maung yang dianggap jelmaannya
saja begitu melekat dalam kehidupan masyarakat Sunda. Bukankah klub sepak bola Persib
Bandung dijuluki Maung Bandung dan
simbol Kodam III/Siliwangi dari dulu berupa maung?
Itulah “Siliwangi” sosok yang sangat melekat
pada emosi terdalam masyarakat Sunda. Rasanya nama Siliwangi sudah menjadi
jatidiri, kebanggaan, kehormatan dan bagian hidup masyarakat Pasundan. Jangan
coba-coba menjelek-jelekan Siliwangi kalau tidak ingin kena peribahasa Ulah Sok Ngahudangkeun Maung Nu Keur Sare (jangan membangunkan harimau yang sedang tertidur)
artinya jangan coba-coba buat masalah yang berakibat kemarahan besar orang
Sunda. Karena dalam diri orang Sunda tertanam kebanggaan dan kehormatan sebagai
seuweu siwi Siliwangi (anak cucu
Siliwangi).
Pertanyaan besarnya, Siapakah Siliwangi itu?
Keberadaannya merupakan fakta sejarah atau hanya mitos belaka? Kalau fakta,
siapa jatidiri sebenarnya?
Mempertanyakan dan membahas tentang Siliwangi
sebetulnya tidak akan pernah berakhir. Minimnya sumber sejarah Sunda yang ada
menjadi handicap tersendiri. Apalagi
keberadaan sumber tertulis tentunya teramat minim. Kalaupun ada hanya berupa
naskah yang ditulis masa kemudian setelah tokoh ini meninggal. Hal yang utama,
dari semua sumber sejarah yang sezaman dengannya ada tidak ada yang
mencantumkan nama tokoh besar ini.
Nama Prabu Siliwangi bisa ditelusuri pada sejumlah naskah
kuno. Sumber tertua yang menyebut nama Siliwangi adalah naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian yang
ditulis pada 1440 Saka (1518 M) atau pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja,
penguasa Pakuan Pajajaran antara tahun 1482–1521. Naskah ini selesai
ditulis (dalam arti selesai disalin dan dilengkapi)
pada masa-masa akhir kerajaan ini (1579). Naskah ini tidak menampilkan identitas
penulisnya dan hanya mencantumkan
Siliwangi sebagai saah satu judul cerita pantun yang berkembang saat itu. Bisa
dipahami kalau dalam naskah tersebut tidak dibahas secara gamblang tentang
Siliwangi, karena sejatinya naskah ini membahas tentang pengetahuan dan berbagai
aturan kehidupan masyarakat saat itu.
Sumber lainnya, di antaranya: Naskah Carita
Parahiyangan, Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari (1720), Naskah Bujangga Manik,
dan naskah yang lainnya. Naskah Carita
Parahyangan berdasarkan penelusuran
terbaru disusun oleh Nanganan atas perintah Pangeran Geusan Ulun, Raja Sumedang
dan selesai ditulis 1601 M (Nina Herlina Lubis, 2013: 33). Naskah Carita Puwaka Caruban Nagari ditulis
oleh Pengeran Arya Cirebon, seorang
bangsawan keturunan Keraton Kasepuhan pada
1720. Naskah ini bersumber pada naskah yang ada sebelumnya, yaitu Nagara
Kreta Bumi. Naskah Bujangga Manik merupakan salah satu naskah kuno
berbahasa Sunda yang ditulis pada daun nipah dan saat ini disimpan di
Perpustakaan Bodley di Universitas Oxford sejak tahun 1627. Seluruhnya
terdiri dari 29 lembar daun nipah, yang masing-masing berisi sekitar 56
baris kalimat yang terdiri dari 8 suku kata.
Dilihat dari angka tahun pembuatannya,
naskah-naskah tersebut ada yang sezaman dengan peristiwa, atau, setidaknya, ada
juga yang jarak waktunya tidak jauh dari peristiwa. Demikian juga bila
dilihat penulis naskah. Meskipun banyak
naskah yang anonim, namun
kemungkinan besar penulisnya itu adalah
orang yang hidup di sekitar keraton.
Dengan demikian, bobot kesejarahan dari
sumber-sumber naskah tersebut tidak bisa diabaikan. Tentu saja kritik-kritik
terhadap sumber-sumber itu mutlak harus
dilakukan terlebih dahulu. Teknik koroborasi pun harus dilakukan. (Mumuh Muhsin, 2011: 8).
Kemudian adakah sosok Siliwangi itu? Sebagian pihak
menganggap Siliwangi adalah tokoh mitologi karena namanya tidak ditemukan dalam
satu pun prasasti yang ada, mereka berpendapat kalau tidak ada di prasasti
berarti tokoh tersebut tidak masuk dalam ranah sejarah. Yudi Anugrah Nugroho dari Historia.id mengutip pendapat Hasan Djafar, ahli epigrafi
Universitas Indonesia, yang mengatakan Prabu Siliwangi tidak pernah disebut
dalam sumber-sumber primer yang berasal dari prasasti dan naskah Sunda Kuno
yang muatannya dapat dipercaya. Dari 23 prasasti dari masa kerajaan Sunda yang
telah diteliti, 11 prasasti menyebut nama raja-raja Sunda, tapi tak satu pun
menyebut nama Prabu Siliwangi. Menurutnya hal ini bisa dipahami karena Prabu
Siliwangi bukan nama seorang raja dan nama gelar seorang raja, tetapi julukan
bagi salah satu di antara deretan raja-raja Sunda.
Terhadap pendapat seperti ini kita bisa mempertanyakan,
apakah nama-nama, seperti Ken Angrok, Raden Wijaya, Hayam Wuruk, Gajah Mada ada
tertulis di prasasti? Sesungguhnya mereka pun tidak ada, sebab yang ditulis di
prasasti hanya nama Rajasa, Kertarajasa, dan Sri Rajasanagara. Apalagi nama
Gajah Mada tidak ada sama sekali di prasasti, tapi ada di sumber lain yang dapat
dipercaya. Inilah yang disebut metode identifikasi dalam sejarah. Metode inilah
yang bisa dipakai dalam meneliti keberadaan Siliwangi. (Saleh Danasasmita,
2003: 124)
Sejarahwan Universitas Padjadjaran, Bandung, Mumuh Muhsin
Z. berkeyakinan Siliwangi itu ada. Menurut Mumuh Muhsin Z. (2011: 7) bila ada yang berpendapat
bahwa Prabu
Siliwangi adalah tokoh mitos
karena
hanya tercantum
dalam sumber-sumber naskah atau historiografi
tradisional, hendaklah diingat bahwa mitos jangan diabaikan sebagai sumber
sejarah. Mitos adalah fakta mental. Mitos pun dapat dikategorikan sebagai
sejarah “intelektual”. Dengan demikian, dalam batas tertentu mitos bisa jadi
sumber sejarah. Kalaupun benar nama Siliwangi tidak ditemukan dalam satu pun
prasasti yang ada, keberadaan tokoh Prabu Siliwangi pun bisa disandarkan pada
fakta sosial dan fakta mental. Pada manusia Sunda di banyak daerah nama Prabu
Siliwangi itu sudah demikian populer. Nama Prabu Siliwangi itu menjadi memori
kolektif masyarakat Sunda. Popularitas dan massivitas nama Prabu Siliwangi ini
tidak boleh diabaikan nilai dan bobot historisitasnya. Sejarah adalah milik
masyarakat, bukan milik sejarawan atau sastrawan.
Kalaupun Siliwangi itu ada, maka
pertanyaannya raja Sunda manakah yang bergelar Siliwangi itu? Ini yang akan
coba ditelusuri dalam tulisan sederhana ini, walau hanya sebuah studi pustaka sederhana
memanfaatkan hasil kajian para ahli yang menulis sebelumnya.
Sumber dari karya sastra lumrahnya menyelaraskan Prabu
Siliwangi sebagai raja Pajajaran. Walau demikian C.M. Pleyte, etnolog asal
Belanda, menolak kaitan Sang Prabu dengan kerajaan Pajajaran. Bahkan menurutnya
Prabu Siliwangi tidak pernah menjadi penguasa Pajajaran. “Prabu Siliwangi sama
dengan Prabu Wangi dari Carita Parahiyangan, yang telah tewas di
lapang Bubat,” tulis Pleyte dalam “Raden
Moending Laja di Koesoema. Een Oude Soendasche Ridderroman. Met een inleiding
over den Toekang Pantoen”, (TBG, XLIX.) Menurutnya, Prabu Siliwangi identik
dengan Prabu Wangi atau Prabu Maharaja dari kerajaan Sunda. (Historia.id)
Senada dengan C.M. Pleyte, Poerbatjaraka
berpendapat Prabu Siliwangi adalah Sri Baduga Maharaja, raja Sunda yang gugur
di Bubat sebagaimana tercantum dalam Kitab Pararaton.
Pendapat ini disampaikannya dalam tulisan yang berjudul “De Batoe Toelis te Buitenzorg” dalam TBG No. 59 tahun 1921. Pendapat
ini sudah lama tertanam dalam proses pembelajaran sejarah di negara kita,
bahkan sekian lama menutup ruang penelitian sejarah tentang sejarah Sunda,
karena dianggap sudah berakhir seiring wafatnya tokoh Sri Baduga Maharaja yang
diidentikan dengan yang gugur di Bubat.
Pada 1965 Amir Sutaarga, Kepala Museum Pusat
saat itu, mendapat perintah dari Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan, Prof.
Priyono untuk meneliti tentang Siliwangi. Ia mengidentifkasi Siliwangi sebagai
Sri Baduga Maharaja yang memerintah di Pakuan Pajajaran selama 39 tahun
(1482-1521). Menurutnya tokoh ini sama dengan tokoh Ratu Jayadewata dalam Carita Parahyangan. Menurut Amir
Sutaarga Prabu Siliwangi baik secara harfiah maupun simbol adalah yang
menggantikan (nu nyilihan) Prabu Wangi. Ia pun berpendapat kalau dilihat
dari kemashurannya maka Siliwangi bisa diidentikan dengan Sri Baduga Maharaja.
Hal terpenting dari pendapat Amir Sutaarga ia menolak pendapat Poerbatjaraka dan
Pleyte yang menyebutkan Sri Baduga Maharaja sebagai tokoh yang gugur di Bubat. Tokoh
yang gugur di Bubat adalah leluhur Sri Baduga Maharaja, yaitu Prabu Maharaja
atau Prabu Linggabuana.
Pandangan Amir Sutaarga mendapat banyak reaksi.
Salah satunya dari Ayatrohaedi, arkeolog Universitas Indonesia. Menurut Ayatrohaedi
dalam Nina Herlina Lubis (2013: 226) pandangan Amir Sutaraga yang mengidentikan
Prabu Siliwangi dengan Prabu Jayadewata atau Sri Baduga Maharaja (1482-1521)
terlalu berani. Raja yang masih memerintah atau baru beberapa tahun meninggal
sangat terlarang atau pamali
disebut-sebut sebagai tokoh dalam cerita pantun.
Lebih lanjut Ayatrohaedi menjelaskan
Siliwangi berasal dari kata “silih” yang berarti “ganti”, sedangkan “wangi”
berarti “harum”; atau bermakna menggantikan seseorang yang harum atau tersohor
namanya. Raja yang harum dan tersohor namanya adalah Prabu Maharaja atau Prabu
Linggabuana yang gugur di tanah lapang Bubat. Dalam hal ini ia sependapat
dengan Amir Sutaarga. Prabu Maharaja berjuluk Prabu Wangi. Julukan itu
diberikan kepada Prabu Maharaja oleh rakyatnya karena ketegarannya
mempertahankan martabat Sunda ketika berperang di Bubat. Akibat kelicikan
Mahapatih Gajah Mada, ia bersama semua pengiring, pengawal, dan putrinya yang
cantik jelita, Dyah Pitaloka atau Putri Citra Resmi, gugur dalam pertempuran
melawan Majapahit pada 1357. Julukan itu sebagai penghormatan terhadap semua
jasa dan pengabdian sang raja sehingga namanya menjadi wangi atau harum.
Lebih lanjut menurut Ayatrohaedi, semua raja
Sunda setelah Prabu Maharaja alias Linggabuwana
atau Prabu Wangi dikenal sebagai Prabu Siliwangi yang maksudnya asilih
prabu wangi atau ‘menggantikan Prabu Wangi’ atau Prabu Maharaja
Linggabuanawisesa. Berikut nama raja-raja Sunda-Galuh (Pajajaran) dari masa Prabu
Maharaja:
1.
Prabu
Maharaja Linggabuanawisésa atau Prabu Wangi (gugur dalam Perang Bubat,
1350–1357)
2.
Prabu
Bunisora, Adik Linggabuanawisesa (1357–1371)
3.
Prabu
Niskala Wastu Kancana putra Linggabuanawisesa (1371–1475)
4.
Prabu
Susuktunggal (1475–1482) sebagai Raja Sunda saja, karena sepeninggal Prabu
Niskala Wastu Kancana kerajaan dipecah dua di antara Prabu Susuktunggal dan
Prabu Dewa Niskala dalam kedudukan sederajat.
5.
Jayadéwata
Sri Baduga Maharaja putra Dewa Niskala, 1482–1521)
6.
Prabu
Surawisésa (1521–1535)
7.
Prabu
Déwatabuanawisésa (1535–1543)
8.
Prabu
Sakti (1543–1551)
9.
Prabu
Nilakéndra (1551–1567)
10. Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana
(1567–1579)
Jika para peneliti Sunda lain menganggap Sri
Baduga Maharaja sebagai raja Sunda terbesar. Tidak demikian dengan Ayatrohaedi.
Menurutnya, mungkinkah Sri Baduga Maharaja dapat disebut sebagai raja terbesar
dan masih sempat meluaskan wilayahnya, sementara itu dia harus menghadapi
pasukan Islam dari Demak dan Cirebon? Bukankah untuk mempertahankan dirinya
saja, dia harus mencari bantuan kepada Portugis yang menduduki Malaka sejak
tahun 1511. Dari semua pengganti Prabu Wangi, dia yang kedua lamanya dalam
memerintah selama 39 tahun (1482-1521). Sri Baduga Maharaja keberadaannya tidak
mengalahkan Niskala Wastukancana yang berkuasa selama 104 tahun (1371-1475).
Dengan mengikuti Naskah Wangsakerta, Ayatrohaedi berkesimpulan penganti Prabu Wangi
atau Siliwangi jumlahnya ada delapan orang. Dari ke delapan raja tersebut yang
pantas disebut sebagai Prabu Siliwangi yang pertama adalah Niskala Wastu
Kancana alias Prabu Resi Bhuwana Tunggaldewa atau sang mokténg (mangkat) di Nusalarang sedangkan raja terakhir adalah
Suryakancana yang berjuluk Prabu Siliwangi VIII. Adapun Prabu Bunisora
Suradipati (adik Prabu Wangi) tidak disebut Siliwangi karena hanya sebagai
“Ratu Panyelang” atau “Raja penyelang”. Niskala Wastu Kancana merupakan raja
pengganti Prabu Maharaja yang berjasa besar membangun kerajaan Sunda. Masa
bertahtanya pun cukup lama, 104 tahun (1371-1357), hingga mangkat di Nusalarang.
Jadi jika Prabu Siliwangi dihitung sejak Niskala Wastu Kancana (putra Prabu
Wangi), maka urutannya, seperti di bawah ini:
1.
Prabu
Niskala Wastu Kancana (1371–1475) alias Prabu Raja Wastu (Prasasti Kawali), Prabu
Resi Bhuwana Tunggaldewa atau sang mokténg di Nusalarang sebagai “Siliwangi I”
2.
Prabu
Dewa Niskala alias Ningrat Kancana (Prasasti Kabantenan)atau Tohaan di Galuh(1475–1482)
sebagai “Siliwangi II”
3.
Jayadéwata
alias Prabuguru Dewataprana, Sri Baduga Maharaja di Pakuan Pajajaran Sri Sang
Ratu Dewata, atau Sang Pamanah Rasa
(1482–1521) sebagai Siliwangi III”
4.
Prabu
Surawisésa atau Ratu Sanghyang (1521–1535)
sebagai “Siliwangi IV”
5.
Prabu
Déwatabuanawisésa (1535–1543) sebagai “Siliwangi V”
6.
Prabu
Sakti (1543–1551) sebagai “Siliwangi VI”
7.
Prabu
Nilakéndra (1551–1567) sebagai Siliwangi VII”
8.
Prabu
Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567–1579) sebagai Siliwangi VIII”
Pemaparan urutan raja-raja Sunda Pajajaran
yang bergelar Siliwangi di atas tentunya mengacu pada nasab raja secara garis
laki-laki ke Prabu Linggabuanawisesa. Oleh karena itu, adik prabu Linggabuana,
yaitu Bunisora Suradipati tidak dihitung Siliwangi karena bukan keturunannya.
Ada hal yang menarik, putra Niskala Wastu
Kancana dikenal ada dua orang yang menjadi raja, yaitu: Dewa Niskala dan Susuk
Tunggal. Mengenai posisi Prabu Susuk Tunggal (Raja Sunda), oleh Ayatrohaedi
tidak disebut sebagai “Siliwangi”. Hal yang berbeda untuk ayah dari Jayadewata
atau Sribaduga, yaitu Dewa Niskala. Ia disebut “Siliwangi”. Pertanyaannya,
Apakah karena Prabu Susuktunggal tidak punya anak laki-laki? Jawabannya tentu
tidak, bukankah Prabu Amuk Murugul adalah putra Prabu Susuk Tunggal dan adik
dari Kentring Manik Mayangsunda. Selanjutnya Prabu Amuk Murugul menjadi raja
kerajaan Japura, bawahan Pajajaran. Karena Kentring Manik Mayangsunda menikah
dengan Sri Baduga, maka posisi raja Sunda dipegang oleh menantu Prabu Susuk
Tunggal itu. Dengan demikian, penghitungan Ayatrohedi disandarkan pada posisi
para raja Pajajaran yang berkuasa di Sunda-Galuh (Selanjutnya disebut Kerajaan Sunda
saja atau Pajajaran), bukan berdasarkan nasab saja.
Mengenai pendapat sebagian peneliti sejarah
Sunda yang mengatakan Sri Baduga Maharaja (Siliwangi) sebagai raja terakhir,
Ayatrohaedi juga tidak sependapat. Ia mencoba mencocokan tahun wafatnya Sri Baduga
Maharaja dengan runtuhnya Kerajaan Sunda atau Pajajaran. Dalam kajainnya
cenderung ada ketidak cocokan data, Kerajaan Sunda baru runtag (runtuh)
tahun 1579, 58 tahun setelah Sri Baduga Maharaja meninggal. Bahkan Naskah Wangsakerta juga menyebut bahwa
raja Sunda terakhir adalah Suryakancana atau dalam Carita Parahayiangan bernama
Nu Siya Mulya yang memerintah selama 12 tahun (1567-1579).
Atas beberapa pendapat Ayatrohaedi, Saleh
Danasasmita memberikan pandangan berbeda. Tentang pamali atau terlarangnya menjadikan raja yang masih memerintah atau
baru beberapa tahun meninggal sebagai tokoh dalam cerita pantun Saleh
Danasasmita (2003 : 145) punya pandangan berbeda. Berkaca pada apa yang
dilakukan para penulis cerita yang ada di kerajaan-kerajaan di Jawa bagian
Timur, seperti Empu Kanwa menulis Kekawen
Arjuna Wiwaha yang isinya tentang Raja Erlangga, Empu Darmaja yang menulis
kisah perkawinan Raja Kameswara dalam Kekawen
Smaradahana dan Empu Sedah dengan
Empu Panuluh yang menulis Kekawen Bharatayudha
terkait dengan Raja Jayabaya. Semua ditulis sezaman dengan masa hidup raja-raja
tersebut. Menurut Saleh kalau di keraton timur bisa kenapa tidak dengan di Jawa
Barat.
Kemudian tidak benar kalau Siliwangi itu
banyak dan merupakan gelar untuk setiap raja Pajajaran. Siliwangi hanya satu
nama untuk satu orang. (Saleh Danasasmita, 2003: 142) Ia pun menolak kalau Siliwangi itu raja terakhir Pajajaran.
Kritik juga diberikan pada teori
Poerbatjaraka dan Amir Sutaarga. Menurut Saleh Danasasmita (2003: 71) dasar
pijakan teori Porbatjaraka kurang kokoh. Kerangka teori Poerbatjaraka
tergantung pada tafsirannya atas kata “rancamaya”, yang menurutnya, berdasarkan
maksud kalimat ditambah dengan adanya kata sambung yang menyatakan tempat,
yaitu di dan ring, tentunya Nusalarang, Gunung Tiga, dan Rancamaya adalah nama
tempat. Hal ini tentu saja menggugurkan teori Poerbatjaraka, yang artinya siapa
sosok Prabu Siliwangi menjadi tidak jelas. Poebatjaraka lupa bahwa di depan
kata Rancamaya ada kata sanghyang,
jadi Sanghyang Rancamaya. Kalau sudah menggunakan kata sanghyang tidak mungkin
bisa diartikan kalawisaya atau
pekerjaan yang khianat. Yang dimaksud dengan khianat atau kalawiyasa di sini terkait dengan tindakan Prabu Dewa Niskala yang
memperistri perempuan dari Majapahit yang statusnya sudah dipinang orang lain.
Kemudian teori Poerbatjaraka yang menyamakan
Sri Baduga Maharaja sebagai raja Sunda yang meninggal di Bubat (1357 M) juga digugat
Saleh Danasasmita. Merujuk pada Kitab Carita
Parahyangan disebutkan bahwa Prabu Maharaja menjadi raja hanya dalam waktu
tujuh tahun, sedangkan Sri Baduga Maharaja atau Jayadewata selama 39 tahun.
Prabu Maharaja adalah bapak dari Prabu
Niskala Wastu Kancana, kakek dari Prabu Dewa Niskala. Prabu Desa Niskala
sendiri ayah dari Sri Baduga Maharaja. Kalau merujuk pada urutan raja-raja
Sunda di atas maka Sri Baduga Maharaja jelas berada di urutan kelima.
Dalam hal identifikasi sosok Prabu Siliwangi
Saleh Danasasmita sependapat dengan Amir Sutaarga. Ia yang mengidentikan Prabu
Siliwangi dengan Sri Baduga Maharaja. (Saleh Danasasmita, 2003: 63). Pendapat ini
juga mendapat dukungan dari Mumuh Muchsin Z., Ketua Masyarakat Sejarawan
Indonesia Jawa Barat dan Yoseph Iskandar. Mumuh Muhsin Z. (2012: 11)
memperjelas bahwa keberadaan Prabu Siliwangi itu historis, bukan mitos, bukan
dongeng. Keberadaannya didukung oleh fakta historis. Menurutnya Raja Pajajaran
yang dijuluki Prabu Siliwangi hanya satu. Prabu Siliwangi identik dengan Sri
Baduga Maharaja.
Sri Baduga Maharaja, putra dari Prabu Dewa
Niskala, cucu Niskala Wastu Kencana, yang bertahta pada 1482-1521. Ia
memindahkan pusat kekuasaan ibukota di Pakuan-Pajajaran (Bogor). Pada masanya
kerajaan Sunda mencapai puncak kejayaan. Sri Baduga Maharja membangun kembali
dan memperindah ibukota Pakuan, membuat parit di sekeliling ibukota Pakuan,
membuat monumen berupa gugunungan, membuat jalan yang diperkeras
dengan batu (ngabalay), membuat hutan lindung (samida), dan
membuat Talaga Warena Mahawijaya. Jumlah penduduk Pakuan mencapai 48.271 orang,
Pakua menjadi kota terbesar kedua di Nusantara setelah Demak yang jumlahnya
49.197 orang. Pasai kota terbesar ketiga dengan jumlah pnduduk 23.121 orang.
(Yoseph Iskanadar, 1997: 234)
Dari pendapat-pendapat yang ada secara umum
pada masa kekinian sosok Siliwangi mengarah kepada Sri Baduga Maharaja. Raja
Sunda yang memerintah pada 1482–1521 dan dimakamkan di Rancamaya, Bogor. Teori
Poerbatjaraka yang mengatakan Sri Baduga Maharaja sebagai tokoh yang gugur di
Bubat sangat keliru, karena tahun terjadinya peristiwa Bubat (1357) terpaut
jauh dari lahirnya Sri Baduga Maharaja. Sri Baduga Maharaja pun bukan sosok
raja terakhir dari kerajaan Pajajaran, karena Pajajaran runtuh jauh setelah Sri
Baduga wafat. Kalaupun ada yang menyodorkan sosok lain dalam jumlah banyak
sebagai Siliwangi, selain Sri Baduga, tentu kejayaannya masih di bawah Sri
Baduga Maharaja.
Sementara terhadap pendapat yang mengatakan
Prabu Niskala Wastu Kancana sebagai Siliwangi sebelum Sri Baduga Maharaja, Yoseph
Iskandar (1997: 239) mengambil jalan tengah. Dalam hal ini tinggal masyarakat
yang tanpa harus mengetahui nilai kebenaran sejarah, sebagai idola masyarakat
Jawa Barat yang mengaku seuweu siwi
Siliwangi (anak cucu Siliwangi), tinggal memilih antara Prabu Siliwangi
Sang Mahaprabhu Nisakala Wastu Kancana atau Prabu Siliwangi Sri Baduga
Maharaja. Semoga kabut yang menelimuti jatidiri Siliwangi sedikit demi sedikit
mulai terbuka.
Sumber Bacaan
Amir Sutaarga,
(1966) Prabu Siliwangi atau Ratu Purana Prebu Guru Dewataprana Sri
Baduga Maharadja Ratu Hadji di Pakwan Padjadjaran, 1474-1513, Jakarta: Duta
Rakyat.
Nina
Herlina Lubis dkk, (2013), Sejarah
Kerajaan Sunda, YMSI Jawa Barat bekerjasama dengan MGMP IPS Kabupaten
Purwakarta
Saleh
Danasasmita, (2003), Nyukcruk Pakuan
Pajajaran jeung Prabu Siliwangi, Bandung: Girimukti
-
(2003),
Melacak Sejarah Pakuan Pajajaran dan
Prabu Siliwangi, Bandung: Girimukti
Yoseph Iskandar,(1997), Sejarah Jawa Barat, Yuganing Rajakawasa, Bandung: Geger Sunten
Makalah
Mumuh
Muhsin Z. 2011, Prabu Siliwangi, Sejarah
atau Dongeng?, Makalah Dialog Interaktif
“Revitalisasi Nilai-Nilai Budaya Masyarakat Tatar Sunda” (Nyusur Galur Mapay Raratan, Ngaguar Warisan Karuhun Urang);
diselenggarakan oleh Bank Indonesia Kantor Regional Jabar-Banten bekerja sama
dengan Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat dan JITUJI pada
tanggal 20 Mei 2011
- (2011),
Sri
Baduga Maharaja (1482-1521) Tokoh Sejarah yang Memitos dan Melegenda, Makalah Disampaikan dalam seminar “Sri Baduga
dalam Sejarah, Filologi, dan Sastra Lisan” Diselenggarakan oleh Balai Pengelolaan
Museum Negeri Sri Baduga 31 Oktober 2012
-. (2011),
Eksistensi
Kerajaan Pajajaran dan Prabu Siliwangi, Makalah disampaikan dalam
Seminar Prodi Ilmu Sejarah pada hari
Senin 28 Maret 2011 di Fakultas
Sastra Universitas Padjadjaran Jatinangor
Internet
Hendri F. Isnaeni, “Prabu Siliwangi Ada Delapan bukan Satu”
https://historia.id/kuno/articles/prabu-siliwangi-ada-delapan-bukan-satu-DbNal diunduh 12 April 2020: 21.36
Irfan
Teguh, “Maung dan Prabu Siliwangi: Mitos atau Fakta?” 15 Maret 2017
https://tirto.id/maung-dan-prabu-siliwangi-mitos-atau-fakta-ckLg, diunduh 12 April 2020: 21.15
Raden.Tama.F.Larasantang,
“Tentang Prabu Siliwangi” 8 Desember 2019
https://medium.com/@tamalarasantang07/tentang-prabu-siliwangi-c5fbd6e3ee1a
diunduh 12 April 2020: 10:30
Yudi Anugrah Nugroho “Mencari Prabu Siliwangi”