Oleh
Enang Cuhendi
Setiap
April ada satu momen yang tidak pernah terlewatkan dalam sejarah Bangsa
Indonesia. Momen itu dikenal sebagai Hari Kartini yang jatuh pada setiap 21
April. Ini didasarkan pada hari lahirnya Raden Ajeng Kartini pada 21 April
1879. Setiap Momen ini muncul nama R.A. Kartini melambung sebagai tokoh utama emansipasi
dan pencerah kaum perempuan Indonesia. Ketika Hari Kartini tiba seolah-olah
tidak ada tokoh perempuan lain yang lebih hebat daripadanya. Pertanyaannya, benarkah
tidak ada tokoh perempuan lain yang lebih hebat dari R.A. Kartini?
Kalau
sejarah betul-betul dikaji sebagai History
bukan His Story tentunya pertanyaan
tersebut akan terjawab dengan beberapa fakta sejarah yang ada. Sejarah mencatat
bahwa selain R.A. Kartini ternyata Indonesia masih banyak memiliki tokoh-tokoh
perempuan lain yang layak dikedepankan. Mereka berperan dalam berbagai bidang
kehidupan, mulai dari pendidikan, sosial, kebudayaan hingga kemiliteran. Beberapa
di antarnya bisa penulis sampaikan dalam tulisan sederhana ini.
Sekian
abad yang lalu jauh sebelum R.A. Kartini lahir, di bidang kemiliteran terdapat satu
sosok yang sangat patut dikedepankan. Dia bukan hanya baru bicara sebatas teori
emansipasi tetapi sudah jauh lebih dulu mempraktekannya. Tokoh ini adalah Keumalahayati
atau lebih dikenal dengan Malahayati. Seorang laksamana terkenal dari
Inong Balle yang memimpin armada laut Kesultanan Aceh ketika bertempur melawan Portugis. Jika nama Artemisia I dari Caria
tidak dihitung, maka Malahayati adalah laksamana wanita pertama yang diketahui
dunia modern.
Beberapa
kisah sukses Malahayati tercatat dalam sejarah. Ketangguhan Malahayati dan
pasukannya membuat armada Portugis bisa dipukul mundur di abad 16. Mereka juga
berhasil menggugurkan utusan Belanda, Cornelis de Houtman pada tanggal 11
September 1599.
Selanjutnya
giliran pasukan Paulus van Caerden yang mencoba menerobos perairan Aceh pada
tahun 1600. Mereka menjarah dan menenggalamkan kapal bermuatan rempah, membuat
raja Aceh naik pitam. Tantangan ini dijawab Malahayati dengan memerintahkan
penangkapan Laksamana Belanda, Jacob van Neck pada tahun 1601. Perlawanan
sengit dari armada Malahayati membuat Belanda menyerah. Penguasa Negeri Kincir,
Maurits van Oranje mengirim utusan diplomatik beserta surat permintaan maaf
kepada Kesultanan Aceh. Kedua utusan tersebut ditemui oleh Malahayati sendiri
dan berbuah kesepakatan gencatan senjata. Belanda setuju membayar 50 ribu
gulden sebagai kompensasi atas tindakan Paulus van Caerden.
Reputasi
Malahayati yang tak kenal ampun membuat Inggris yang hendak melalui Kerajaan
Aceh jadi ciut. Daripada mengirim pasukan dan kalah telak, akhirnya mereka
memilih memasuki Aceh dengan jalan damai. Ratu Elizabeth I, penguasa Inggris
kala, itu memilih untuk mengutus James Lancaster disertai surat permintaan izin
kepada Sultan Aceh untuk membuka jalur pelayaran menuju Jawa. Peristiwa
tersebut terjadi pada tahun 1602.
Kehebatan
Malahayati di lautan membuat namanya dikenal di negara-negara lain. Selain
Belanda, Portugis, dan Inggris yang ketakutan dibuatnya, nama Malahayati juga
terdengar sampai ke negeri Tiongkok. Sejumlah sejarawan menjajarkan namanya
dengan Katerina Agung dari Rusia.
Sungguh
cerita sukses luar biasa dari sosok seorang wanita hebat di medan tempur. Sosok
pemimpin yang dipilih Sultan dan disegani kaum pria. Inilah emansipasi awal di
bidang kemiliteran. Sosok yang selanjutnya menginspirasi lahirnya sosok
pahlawan perempuan yang hebat dari Tanah rencong, seperti Cut Nyak Dhien dan
Cut Muthia yang juga turun ke medan pertempuran melawan Belanda. Atas
jasa-jasanya Pemerintah Republik Indonesia menganugerahi Gelar Pahlawan
Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 115/TK/Tahun
2017 tanggal 6 November 2017.
Cut
Nyak Dhien dan Cut Muthia menjadi generasi perempuan Aceh berikutnya yang unjuk
diri sebagai perempuan hebat dan memiliki jiwa kepahlawanan yang luar biasa.
Mereka terjun langsung di medan pertempuran untuk melawan kekuasaan Belanda di
Tanah Rencong. Kematian suami dan terutama semangat jihad yang tertanam dalam
diri sejak kecil telah menjadi modal utama pemicu munculnya jiwa kepahlawanan.
Mereka berjuang sampai akhir hayat. Bangsa Indonesia pun menganugerahi mereka
sebagai Pahlawan Nasional.
Di
Sumatera Barat kita mengenal sosok Roehana Koedoes. Ia hidup pada zaman yang
sama dengan Kartini, ketika akses perempuan untuk mendapat pendidikan yang
baik sangat dibatasi. Kakak tiri dari Soetan Sjahrir, Perdana
Menteri Indonesia yang pertama, ini amat peduli dengan nasib
perempuan. Ketidaktersediaan sekolah untuk pribumi putri mendorong mak tuo (bibi)
dari penyair terkenal Chairil Anwar ini mendirikan Sekolah Kerajinan Amai
Setia (KAS) di Koto Gadang, sekolah kaum putri yang mengajarkan keterampilan
pada 1911.
Sambil
aktif di bidang pendidikan, Roehana Koedoes aktif menulis di surat kabar
perempuan, Poetri Hindia. Ketika surat kabar itu dibredel
pemerintah Belanda, sepupu H. Agus Salim ini berinisiatif mendirikan surat
kabar, bernama Sunting Melayu, yang tercatat sebagai salah satu
surat kabar perempuan pertama di Indonesia. Roehana Koedoes tercatat
sebagai wartawan perempuan pertama. Pada 8 November 2019, dan dianugerahi gelar
Pahlawan Nasional.
Kepulauan
Maluku juga punya perempuan hebat. Sosok itu ada dalam diri Martha Christina
Tiahahu. Usianya baru 17 tahun tatkala Martha Christina Tiahahu terjun langsung
dalam medan perang melawan tentara kolonial Belanda. Gadis yang lahir pada
tanggal 4 Januari 1800 di Desa Abubu, Nusalaut ini dikenal baik di kalangan
para pejuang dan masyarakat sampai di kalangan musuh sebagai gadis pemberani
dan konsekuen terhadap cita-cita perjuangannya. Martha pun kerap disebut
sebagai srikandi dari Tanah Maluku.
Ia
mendampingi ayahnya, Kapitan Paulus Tiahahu, angkat senjata untuk mengusir
penjajah di Pulau Nusa Laut maupun di Pulau Saparua. Di tengah keganasan
pertempuran itu, Martha memberikan kobaran semangat kepada pasukan Nusa Laut
untuk menghancurkan musuh. Pekikan semangat Martha telah membakar semangat kaum
perempuan untuk turut mendampingi kaum laki-laki di medan pertempuran. Baru di
medan ini lah Belanda berhadapan dengan kaum perempuan fanatik yang turut
bertempur.
Akhirnya
pada tanggal 2 Januari 1818 Martha Christina Tiahahu menghembuskan nafas yang
terakhir. Jenazah Martha Christina Tiahahu disemayamkan dengan penghormatan
militer di Laut Banda. Martha Christina Tiahahu secara resmi diakui sebagai
Pahlawan Nasional tanggal 20 Mei 1969, berdasarkan Surat Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 012/TK/Tahun 1969.
Bumi
Jawa pun mencatat lahirnya seorang Nyi Ageng Serang, Panglima Perang Asal Jawa
Tengah dengan taktik cerdas. Putri dari Pangeran Natapraja, seorang penguasa
daerah Serang, Jawa Tengah yang juga merupakan Panglima Perang Sultan Hamengkeu
Buwono I, ini tercatat sebagai perempuan pemberani yang tak gentar melawan
penjajah yang berusaha menguasai tanah kelahirannya juga pemimpin gerilyawan
Jawa yang memimpin penyerangan terhadap kolonial Belanda.
Ketika
Perang Diponegoro meletus pada tahun 1825, Nyi Ageng Serang bersama pasukan
yang setia terhadap ayahnya ikut berperang bersama Pangeran Diponegoro dan
menantunya Raden Mas (R.M.) Pak –Pak. Karena usianya yang sudah sangat tua, 73
tahun, Nyi Ageng memimpin pasukannya dari atas tandu. Akhirnya, setelah tiga
tahun ikut bertempur bersama Pangeran Diponegoro, Nyi Ageng Serang tidak kuat lagi
melawan penjajah karena kekuatan fisiknya tidak memadai. Ia pun mundur dari
peperangan dan pasukan yang ia pimpin diambil alih oleh Raden Mas Pak-Pak.
Pada
tahun 1828 sosok panglima perang yang terlahir dengan nama Raden Ajeng Kustiyah
Wulaningsih Retno Edi menghembuskan nafas terakhirnya dalam usia 76 tahun. Atas
jasa-jasanya terhadap negara, Nyi Ageng Serang kemudian dikukuhkan sebagai
pahlawan nasional berdasarkan SK Presiden RI No.084/TK/1974.
Di
tanah Pasundan setidaknya kita mencatat ada dua nama perempuan hebat. Raden
Dewi Sartika dan Raden ayu Lasminingrat mewakili sosok hebat pada putri Sunda. Baik
Rd. Dewi Sartika maupun Raden Ayu Lasminingrat memiliki cita-cita yang sama
dengan R.A. Kartini yakni memajukan pendidikan para wanita serta demi masa
depan anak bangsa. Peran keduanya dalam meningkatkan kualitas hidup perempuan
dan sekaligus mewujudkan gerakan emansipasi tidaklah kalah oleh R.A. Kartini,
bahkan lebih karena berhasil mempraktekan apa yang dicita-citakannya.
Sosok
Raden Dewi Sartika lahir di Cicalengka, 4 Desember 1884. Terlahir dari keluarga
priyayi Sunda, ayahnya R. Rangga Somanegara dan ibunya, R. A. Rajapermas. Ayahnya,
Raden Somanagara adalah seorang pejuang kemerdekaan. Terakhir, sang ayah
dihukum buang ke Pulau Ternate oleh Pemerintah Hindia Belanda hingga meninggal
dunia di sana. Setelah ayahnya wafat, Raden Dewi diurus oleh pamannya Patih
Aria, seorang patih di Cicalengka dan mendapat pendidikan budaya Sunda. Seorang Asisten Residen berkebangsaan
Belanda juga telah mengajarkannya tentang budaya dan adat bangsa
Barat.
Ketertarikannya pada dunia pendidikan sudah
terlihat sejak kecil. Ia pun punya cita-cita untuk memajukan kaumnya. Cita-cita
ini terealisasi pada 16 Januari 1904, ketika ia membuat sekolah yang bernama
Sekolah Isteri di Pendopo Kabupaten Bandung. Ini terjadi berkat bantuan Bupati
R.A.A.Martanegara, kakeknya, dan Den Hamer yang menjabat Inspektur Kantor
Pengajaran ketika itu. Di sekolah ini murid-murid yang hanya wanita itu diajar
berhitung, membaca, menulis, menjahit, merenda, menyulam dan pelajaran agama.
Jumlah murid yang awalnya hanya dua puluh orang
berkembang terus. Ruangan sekolah sudah tidak mampu menampung lagi. Akhirnya pada
1910 sekolah tersebut dipindahkan ke Ciguriang berubah nama menjadi Sekolah
Kaoetamaan Isteri. Perubahan tdak hanya pada nama tetapi mata pelajaran juga
bertambah. Pelajaran yang berhubungan dengan pembinaan rumah tangga banyak
diberikannya, karena Raden Dewi berharap suatu saat muridnya harus mampu
menjadi ibu rumah tangga yang baik, mandiri dan terampil.
Berbagai tantangan, khususnya di bidang
pendanaan operasional sekolah yang didirikannya sering dihadapinya. Namun
berkat kegigihan dan ketulusan hatinya untuk membangun masyarakat negerinya,
sekolah yang didirikannya sebagai sarana pendidikan kaum wanita bisa berdiri
terus, bahkan menjadi panutan di daerah lainnya.
Perkembangan Sekolah Kaoetamaan Isteri
terhitung pesat. Pada tahun 1912, sudah ada sembilan sekolah yang tersebar di
seluruh Jawa Barat. Banyaknya sekolah perempuan di Sunda memunculkan kembali
ide untuk mendirikan organisasi. Tahun 1913 Organisasi Keutamaan Isteri berdiri
dengan tujuan untuk menaungi sekolah-sekolah yang telah didirikan di
Tasikmalaya. Organisasi ini sengaja dibentuk untuk menyatukan sistem
pembelajaran dari sekolah-sekolah yang telah dibangun Dewi Sartika.
Perkembangan berikutnya jumlah sekolah
berkembang menjadi satu sekolah tiap kota maupun kabupaten pada tahun
1920. Setelah 25 tahun pendirian sekolah Isteri, namanya pun berubah
kembali. Ini merupakan kali terakhir perubahan nama dari sekolah yang didirikan
Dewi Sartika. Pada September 1929, sekolah Sekolah Kaoetamaan Isteri berganti nama
menjadi Sekolah Raden Dewi.
Dengan
semakin berkembangnya sekolah maka Raden Dewi Sartika mampu mewujudkan
cita-citanya menjadi sebuah kenyataan. Ini hal yang membedakan sosok Raden Dewi
Sartika dengan R.A. Kartini. Kalau Kartini baru sebatas dalam teori dan
beberapa langkah kecil, Dewi Sartika sudah mampu merealisasikan cita-citanya
sampai tersebar luas. Dari kehidupan pribadinya, Dewi Sartika juga lebih beruntung
karena sampai wafatnya tidak pernah dimadu oleh suaminya, Raden Kanduruan
Agah Suriawinata, hal yang berbeda dengan R.A. Kartini yang harus menjadi
istri keempat Bupati Rembang, yaitu K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo
Adhiningrat.
Mengingat
jasa-jasanya dalam membangun putri-putri bangsa, maka pemerintah atas nama
negara menganugerahkan gelar kehormatan pada Rd. Dewi Sartika sebagai Pahlawan
Kemerdekaan Nasional. Gelar kehormatan tersebut diberikan pada tanggal 1 Des
1966 dan disahkan melalui SK Presiden RI No.252 Tahun 1966. Gelar kehormatan
lainnya, yaitu gelar Orde van
Oranje-Nassau didapat dari negeri Belanda tepatnya pada 1 Desember 1966 beretepatan
sekolah Keutamaan Isteri berusia 35 tahun.
Tanah
Garut, Jawa Barat, juga tidak ketinggalan untuk mampu melahirkan sosok perempuan
hebat. Sebagaimana disebut di atas sosok tersebut adalah Raden Ayu Lasminingrat
adalah putri Garut. Terlahir sebagai putri sulung dari seorang penghulu
sekaligus sastrawan sunda Raden Haji Muhamad Musa dengan Raden Ayu Ria. Penulis
Deddy Effendie secara khusus menyebut Rd. Ayu Lasminingrat sebagai tokoh
perempuan intelektual pertama di Indonesia.
Peran dalam dunia kepenulisan/kepengarangan dan pendidikan bagi
kaum perempuan tidak kalah mentereng dibandingkan dengan Raden
Dewi Sartika, dan R.A Kartini. Bahkan Lasminingrat
yang lahir di Garut 1843, dianggap lebih dulu menginspirasi, jauh sebelum
Kartini (1879) dan Dewi Sartika (1884) lahir.
Karena
didikan Levyson Norman, Lasminingrat tercatat sebagai perempuan pribumi
satu-satunya yang mahir dalam menulis dan berbahasa Belanda pada masanya. Dunia
kepenulisan digelutinya secara serius. Beberapa buku berbahasa Sunda, untuk
anak sekolah, baik tulisan sendiri maupun terjemahan berhasil ditulisnya. Pada
1875 ia menerbitkan buku Carita Erman yang
merupakan terjemahan dari Christoph von
Schmid. Buku ini dicetak sebanyak 6.015 eksemplar dengan menggunakan aksara
Jawa, lalu mengalami cetak ulang pada 1911 dalam aksara Jawa dan 1922 dalam
aksara Latin. Jumlah eksemplar yang luar biasa, karena untuk saat ini rata-rata
hanya dikisaran 1500-an.
Beberapa
waktu kemudian buku-buku lain berhasil ditulis dan diterjemahkan. pada 1876
terbit Warnasari atawa Roepa-roepa
Dongeng Jilid I dalam aksara Jawa. Buku ini merupakan hasil terjemahan dari
tulisan Marchen von Grimm dan JAA Goeverneur, yaitu Vertelsels uit het wonderland voor kinderen, klein en groot (1872)
dan beberapa cerita Eropa lainnya. Jilid II buku ini terbit setahun kemudian,
lalu mengalami beberapa kali cetak ulang, yakni pada 1887, 1909, dan 1912,
dalam aksara Jawa dan Latin. Ini menunjukkan produktifitas yang sangat tinggi
dalam menulis untuk ukuran perempuan saat itu,
Selain aktif menulis, Raden Ayu Lasminingrat juga fokus dalam pembangunan
pendidikan bagi perempuan pribumi. Ia turut mendorong pendirian membangun
Sekolah Keutamaan Istri yang dibangun Dewi Sartika pada 1904. Tidak berhenti
sampai di sana. Raden Ayu Lasminingrat pun turut berpartisipasi membangun
Sekolah Keutamaan Istri pada 1907. Pada
1911 sekolahnya berkembang. Jumlah muridnya mencapai 200 orang, dan lima kelas
dibangun di sebelah pendopo. Sekolah ini akhirnya mendapatkan pengesahan dari
pemerintah Hindia Belanda pada 1913 melalui akta nomor 12 tertanggal 12
Februari 1913. Pada 1934, cabang-cabang Keutamaan Istri dibangun di Kota Wetan
Garut, Bayongbong, dan Cikajang.
Guna menghargai dan mengingat geliat Raden Ayu
Lasminingrat, Pemerintah Garut pun mengusulkan Raden Ayu Lasminingrat sebagai
pahlawan nasional. Meski sudah dua kali, pada 2007 dan 2009, usaha tersebut gagal
belum disetujui pihak pemerintah pusat. Walau belum mendapat gelar pahlawan
nasional, di mata warga Garut dan Tanah Pasundan Rd, Ayu Lasminingrat tetap
sosok perempuan hebat yang sangat berjasa dan menginspirasi.
Dimunculkannya
tokoh-tokoh perempuan hebat di atas sejatinya bukan untuk menggugat keberadaan
sosok R.A. Kartini yang diperingati setiap tahun. Tulisan ini sekedar untuk
mengingatkan pada kita semua, bahwa di samping R.A. Kartini. masih banyak tokoh
perempuan hebat lainnya. Tokoh yang memiliki kedudukan yang sama dengan R.A.
Kartini. Tokoh yang memiliki kepatutan untuk ditempatkan di tempat yang
terhormat dalam catatan sejarah Indonesia. Walaupun sampai saat ini belum semua
mendapat penghargaan pemerintah dengan mendapat predikat pahlawan nasional.
(EC)
Bandung,
21 April 2020