“Orang
boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis ia akan hilang dalam
masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Demikian
Pramudya Ananta Toer pernah berkata. Sang penulis besar yang pernah menjadi nominator
peraih hadiah Nobel bidang sastra ini bukan tanpa alasan berkata demikian.
Kalau kita cermati secara mendalam apa yang disampaikan Pram, begitu dia biasa
dipanggil, sangat sarat makna.
Banyak
orang yang pintar dan tidak sedikit yang terkatagori pandai. Mereka banyak ilmu
dan mungkin saja ilmunya itu di atas rata-rata orang kebanyakan. Walau demikian
ilmu tersebut tidak akan abadi dalam kehidupan seandainya ia tidak menuliskannya.
Setidaknya dituliskan oleh orang lain. Dengan adanya tulisan maka ilmu tersebut
akan terus abadi dari satu generasi ke generasi lainnya. “Ikatlah ilmu dengan
menulis” demikian Ali bin Abu Thalib pernah berucap.
Sejalan
dengan itu menurut Imam Syafi’i ilmu itu ibarat hasil panen/buruan di dalam
karung, menulis adalah ikatannya. Sebanyak apapun hasil panen atau hasil buruan
yang tersimpan di dalam karung, kalau karung itu tidak pernah diikat maka akan
tercecer atau hilang. Sebanyak apapun ilmu yang kita miliki jika kita tidak
pernah mengikat dengan cara menuliskannya, maka lama-lama akan hilang tertelan
lupa dan juga masa.
Untuk
itu menjadi kewajiban bagi setiap orang, terutama yang berilmu untuk mulai
menulis. Dengan menulis maka kita akan selalu abadi dalam masyarakat dan tidak
tertelan oleh sejarah. Tulisan-tulisan kita akan menjadi wakil kehadiran kita
sampai kapan pun, walau jasad kita sudah hancur tertelan bumi. Bukankah kita
mengenal sosok-sosok besar dengan pemikirannya yang hebat karena karya-karya
tulis mereka. Dalam konteks Indonesia sebut saja sosok-sosok besar seperti: Ir.
Soekarno, Drs. Muhammad Hatta, R.A. Kartini, Raden Dewi Sartika, H. Agus Salim,
Buya HAMKA, Jenderal Besar A.H. Nasution, B.J. Habibie sampai seorang Soe Hok
Gie yang mantan mahasiswa Univesitas Indonesia dikenal pemikirannya lewat
tulisannya. Mereka sudah lama tiada, tetapi hasil pemikirannya masih hidup dan mewarnai
dunianya masing-masing sampai sekarang.
Bukankah
kita juga bisa mengenal kehidupan masa lalu manusia karena adanya tulisan?
Bayangkan seandainya tidak ada prasasti, kitab-kitab kuno, dokumen, inskripsi, biografi,
memoar dan karya tulis lainnya mungkin kita akan buta tentang kehidupan masa
lalu. Mengapa sejarah bangsa Cina begitu lengkap dari satu generasi ke generasi
lainnya? Jawabannya karena mereka rajin mencatat atau menuliskan setiap
peristiwa yang terjadi. Budaya menulis mereka sudah maju sejak ribuan tahun
yang lalu. Bahkan sejarah bangsa Indonesia pun sebagian dibuka melalui catatan
sejarah Cina, seperti: catatan Fa hien, berita I’Tsing, catatan berita dari Dinasti
Sung, Tang, Ming dan lainnya.
Untuk
bisa menulis tentunya harus rajin membaca. Dengan sering membaca maka wawasan
si penulis akan menjadi luas dan tulisannya akan berbobot. Dora Febriana,
seorang penulis, mengibaratkan membaca dan menulis ibarat sepasang kekasih,
belahan jiwa yang saling menguatkan, mengingatkan dan saling melengkapi. Seorang
yang tidak suka membaca mungkin saja bisa menulis, tetapi kalau ingin tulisan
itu berbobot, bergizi dan memberi manfaat yang lebih luas penulis wajib melengkapi
diri dengan sering membaca. Membaca apa? Apa saja, terutama yang terkait dengan
bahan yang akan ditulisnya.
Untuk
bisa menulis, seorang pemula tentunya harus mampu menyingkirkan semua alasan
yang biasa muncul dan sering dimunculkan. Alasan seperti: tidak ada bakat, cape, sibuk, tidak ada waktu,
sudah menulis tapi tidak beres-beres, bingung harus memulai dari mana
dan segudang alasan lainnya
wajib hukumnya untuk disingkirkan. Kalau itu tidak dibuang jauh-jauh, dijamin
tulisan itu tidak akan bisa selesai bahkan mungkin tidak akan pernah menulis
sama sekali.
Ada
juga orang yang berlindung di balik usia. Ia selalu mengatakan bahwa dirinya
sudah tua jadi tidak mungkin belajar menulis lagi. Usia jangan dijadikan
alasan. Bukankah Hernowo atau di dunia maya dikenal sebagai Hernowo Hasim,
seorang penulis 24 buku dalam empat tahun dari total 37 buku yang sudah ditulis
sampai saat akhir hayatnya, memulai aktivitas menulis setelah usia 44 tahun. Jose
Saramago, peraih Nobel sastra 1998 mulai menulis di usia 60 tahun. Toni
Morison, peraih Pulitzer Prize dan Nobel sastra 1993 mulai menulis di
usia 40-an. Bahkan seorang Toyo Shibata
baru menulis di usia 92 tahun dan buku perdananya yang berjudul Kujikenaide
atau Don’t Lose Heart baru terbit saat ia berusia 98 tahun.
Yuk,
buang semua alasan! Mulailah untuk menulis! Bukankah Merry Riana, seorang
motivator yang juga penulis Mimpi Sejuta Dollar pernah mengatakan,” Orang
sukses itu selalu mencari jalan, orang gagal selalu mencari alasan. Selama kamu
masih bersembunyi di balik
alasan kamu tidak akan bisa.” Untuk itu sekali
lagi buang jauh alasan. Tanamkan dalam diri prinsip paksa, bisa dan biasa. Kita
paksa diri kita untuk bisa, setelah bisa pasti akan berkembang menjadi biasa.
Menulis
sejatinya adalah keterampilan. Keterampilan pasti bisa dilatih, walau tanpa
bakat sekalipun. Kuncinya asal punya kesungguhan dan sering berlatih. Yang
membedakan hanya sedikit, orang berbakat ketika rajin berlatih mungkin akan lebih
cepat terampil, sedangkan yang tidak berbakat perlu sedikit waktu lebih lama
untuk bisa. Walau
begitu, asal sungguh-sungguh yang tidak berbakat pun pasti akan terampil.
Seringkali
kita ikut pelatihan menulis karena ingin terampil. Bahkan mungkin kita dilatih
oleh trainer yang punya nama besar, tapi kenapa sampai hari ini saya
belum terampil menulis? Apa karena salah teorinya? Sesungguhnya sesering apapun
kita mengikuti pelatihan, sehebat apapun trainer yang melatih kita,
bahkan semahal apapun biaya yang dikeluarkan untuk mengikuti pelatihan menulis,
semua tidak akan berarti selama kita tidak mau rutin melatih diri. Tidak ada
teori yang hebat untuk bisa cepat menulis. Teorinya hanya satu, ya mulailah
menulis. Kalau mau tiga teori terampil menulis, yaitu satu menulis, dua menulis
dan tiga menulis. Jadi kata kuncinya, ya “menulis” sesering mungkin.
Tanpa
latihan yang rutin sulit untuk kita bisa terampil menulis. Bukankah Leonel
Messi dan Cristiano Ronaldo, dua mega bintang sepakbola dengan bayaran milyaran
rupiah per hari, walau berbakat besar mereka setiap hari masih berlatih, bahkan
porsi latihannya jauh lebih banyak dari yang lain. Kalau kita ingin terampil
menulis ya berlatihlah dengan tekun, menulis, menulis dan menulislah.
Saya
ingin terampil menulis? Saya ingin terbiasa menulis? Harus menulis apa? J.K.
Rowling sang penulis Herry Potters, memberi tips khusus. Menurutnya, “Mulailah
dengan menuliskan hal-hal yang kamu ketahui. Tulislah pengalaman dan perasaan sendiri”.
Jadi mulailah belajar menulis dengan mencari bahan dari apa yang dekat dengan kita,
apa yang kita kuasai, dan apa yang kita sukai. Janganlah menulis sesuatu yang
di luar kemampuan kita atau tidak kita sukai, semua hanya akan menjadi beban
yang akhirnya menyurutkan semangat berlatih kita. Jangan pula menulis sesuatu
yang tidak kita sukai, karena yang hadir nantinya hanyalah sebuah keterpaksaan.
Jenis
tulisan yang diambil sesuaikan dengan kegemaran masing-masing. Bisa tulisan fiksi
atau non fiksi. Tulisan fiksi bisa berupa novel, cerpen, puisi, dongeng dan
sebagainya. Sedangkan non fiksi bisa berupa opini, feature, biografi, resensi
atau laporan, Apa yang mau ditulis sekali lagi sesuaikan dengan yang kita
sukai. Yang penting mulailah menulis.
Untuk
itu salah satu kiat jitu jika eksistensi kita di masyarakat dan sejarah tidak
ingin hilang musnah tertelan masa, maka mulailah untuk menulis. Dengan menulis kita
sudah bekerja dalam keabadian. Bahkan bonusnya kita pun akan dikenal dunia selamanya.
“Jika engkau ingin mengenal dunia maka membacalah, namun jika engkau ingin
dikenal oleh dunia, maka menulislah.” Demikian kata Pram.
Cicalengka,
30 Agustus 2020